Ibnu Batutah atau Muhammad bin Batutah (Arab: محمد ابن بطوطة) yang bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah Al-Lawati At-Tanji bin Batutah (Arab: أبو عبد الله محمد بن عبد الله اللواتي الطنجي بن بطوطة) adalah seorang alim (cendekiawan) Maroko yang pernah berkelana ke berbagai pelosok dunia pada Abad Pertengahan.
Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, Ibnu Batutah menjelajahi sebagian besar Dunia Islam dan banyak negeri non-Muslim, termasuk Afrika Utara, Tanduk Afrika, Afrika Barat, Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Tiongkok.
Menjelang akhir hayatnya, ia meriwayatkan kembali pengalaman-pengalamannya menjelajahi dunia untuk dibukukan dengan judul Hadiah Bagi Para Pemerhati Negeri-Negeri Aneh dan Pengalaman-Pengalaman Ajaib (Arab: تحفة النظار في غرائب الأمصار وعجائب الأسفار, Tuḥfatun Nuẓẓār fī Gharāʾibil Amṣār wa ʿAjāʾibil Asfār),[3] yang lazim disebut Lawatan (Arab: الرحلة, Ar-Rihlah). Riwayat perjalanan Ibnu Batutah menyajikan gambaran tentang peradaban Abad Pertengahan yang sampai sekarang masih dijadikan sumber rujukan.
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Batutah sempat membuatnya terdampar di Samudera Pasai (kini Aceh).
Tepatnya di sebuah Kerajaan Islam pertama di Nusantara yang terletak di utara pantai Aceh antara abad ke-13 hingga 15 M. dengan Raja pertamanya Sultan Malikussalih (W 1297), yang sekaligus sebagai sultan (pemimpin) pertama negeri itu.
Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun 1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.
Catatan Ibnu Batutah dalam perjalanan laut menuju Cina menyebutkan, Ia pernah mampir di wilayah Samudera Pasai.
Dalam catatan perjalanannya itu, Ibnu Batutah melukiskan Samudera Pasai dengan begitu indah. ”Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang besar dan indah,” tutur sang pengembara berdecak kagum.
Kedatangan penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para ulama dan pejabat Samudera Pasai.
Kedatangan Ibnu Batutah disambut Amir (panglima) Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir Al-Syirazi, Tajuddin Al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345).
Menurut pengamatan Ibnu Batutah, Sultan Mahmud merupakan penganut Mazhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian dan mudzakarah tentang Islam.
Penjelajah termasyhur asal Maghrib (sebutan Maroko dalam Bahasa Arab) itu sangat mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa Samudera Pasai saat itu. ”Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam.
Pribadinya sangat rendah hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki. Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk melihat keadaan rakyatnya,” kisah Ibnu Batutah.
Ia juga melihat Samudera Pasai saat itu menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Menurut Ibnu Batutah, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah (semangat) belajar yang tinggi untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama.
Dia juga mencatat, pusat studi Islam yang dibangun di lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi antara ulama dan elit kerajaan.
Selama berpetualang mengelilingi dunia dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitabnya yang berjudul Tuhfat al-Nazhar itu, Ibnu Batutah menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ketujuh raja yang dikagumi Ibnu Batutah itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa, raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah, raja Yaman yang dianggapnya berakhlak mulia, raja Turki dikaguminya karena gagah perkasa, raja Romawi yang sangat pemaaf, raja Samudra Pasai Malik Al-Zahir yang dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Ibnu Batutah sempat mengunjungi pedalaman Sumatra yang kala itu masih dihuni masyarakat non-Muslim. Di situ juga Ia menyaksikan beberapa perilaku masyarakat yang mengerikan, seperti bunuh diri massal yang dilakukan hamba ketika pemimpinnya mati.
Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan, Ibnu Batutah akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu Cina.
Catatan perjalanan Ibnu Batutah itu menggambarkan pada abad pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Berkat petualangan singkat Ibnu Batutah ini, kini Indonesia sangat dikenal di mata masyarakat Maroko, sebagai bangsa yang ramah, santun, toleran dan cinta terhadap agama Islam yang moderat.
Hal itu juga diakui oleh para ulama Maroko, “Masyarakat muslim Indonesia sangat terpuji akhlaknya, mereka memiliki kecintaan yang luar biasa terhadap agama” pengakuan Dr Idris Hanafi, Dosen pakar Hadits beberapa waktu lalu saat menyampaikan kuliah studi Islam di Univ. Imam Nafie’, Tanger-Maroko.
Begitu juga tabiat masyarakat Maroko, yang terkenal dengan sikapnya yang sangat ramah dalam menghormati tamu, mereka menganggap tamu itu benar-benar seperti raja.
Hal ini tentunya merupakan ciri khas orang Maroko dan sebagai aplikasi dari sebuah Hadits Rasul Saw., “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tamunya, yaitu jaizahnya.” Para sahabat bertanya: “Apakah jaizahnya tamu itu, ya Rasulullah?” Beliau S.a.w. bersabda: “Yaitu pada siang hari dan malamnya. Menjamu tamu yang disunnahkan secara muakkad atau sungguh-sungguh ialah selama tiga hari. Apabila lebih dari waktu sekian lamanya itu, maka hal itu adalah sebagai sedekah padanya.” (Muttafaqun ‘Alaih).
Sumber : Kisah ibnu batutah ke aceh.