Menyimak Dialog sejarah dengan pelaku sejarah A.K. Jakobi dan pembacaan puisi bertema sejarah oleh L.K.Ara di Pusat Penelitian Ilmu Sosial dan Budaya, Kampus Unsyiah, Banda Aceh*, amat menggugah saya sebagai peminat sejarah.
Betapa tidak!. Sebab, belum lewat sebulan lalu( 12/4) di Kampus Darussalam yang dijuluki “Jantung Hati Rakyat Aceh” ini juga telah berlangsung seminar sejarah dengan tema yang sama, yakni “Peran Aceh dalam Perang Kemerdekaan Republik Indonesia ( 1945-1949).
Sebagai peminat sejarah, saya bersyukur sekaligus terharu; karena masih ada elit-elit kita yang mencintai sejarah nasional bangsa Indonesia yang perkasa itu.
Memang sekarang, kita tak dapat lagi ‘menikmati’ cerita-cerita sejarah kegagahan rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan RI, yang dimuat sehari-hari dalam koran-majalah. Namun dengan adanya seminar atau dialog sejarah itu, berarti ‘ketandusan kisah sejarah’ bagi masyarakat kita agak terobati juga.
Dulu, ketika Prof.A. Hasjmy, T.A. Talsya, Tuwanku Abdul Jalil, Mohammad Said, Tgk. Hasballah Aneuk Galong,BA masih sehat walafiat, masyarakat Aceh tak pernah sepi dilingkari artikel-artikel sejarah Aceh yang dimuat dalam bulletin,majalah dan suratkabar Harian WASPADA-Medan.
Kini, ‘sungai sejarah Aceh’ itu tak mengalir lagi, setelah semua ‘sejarawan’ tersebut di atas berpulang ke rahmatullah.
Kapankah lahir pengganti mereka?.
Kosongnya penulis sejarah dalam media-massa itu, memang telah membawa dampak pada pemahaman sejarah bagi generasi muda Aceh sekarang.
Hal ini terlihat pada dialog sejarah dengan pelaku sejarah A.K.Jakobi tersebut di atas,ketika seorang mahasiswa memberi komentarnya, bahwa ia nyaris tak mengetahui sejarah Aceh karena tak diajarkan ‘secara khusus’ di sekolah-sekolah.
Problema lain yang menjerat sejarah Aceh kontemporer – khusus peran Aceh dalam perang kemerdekaan RI - adalah gaungnya hanya sebatas wilayah Provinsi Aceh.
Sampai ke batas Aceh- Sumatera Utara (Sumut), maka berhentilah kisah heroik rakyat Aceh mempertahankan kemerdekaan RI 1945-1949.
Orang di seberang Aceh, nyaris tak tahu samasekali perihal itu.
Buktinya, dulu sewaktu saya masih mahasiswa di jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, ternyata nyaris tak ada pemahaman sejarah kontemporer Aceh
di kalangan teman-teman saya di sana. Kalau mahasiswa sejarah sampai tak mengetahui, apalagi bagi mahasiswa bidang lain dan masyarakat awam pada umumnya.
Tentang perang kemerdekaan RI, mereka hanya tahu peran arek-arek Surabaya(baca: Suroboyo),kisah lautan api di Bandung, “sepasang mata bola” di Yogyakarta serta gelegar Takbir Bung Tomo dan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Perang RI masa itu.
Tentang: 1) Peran Aceh di Medan Area
2. Rakyat Aceh menghadiahkan dua buah pesawat kepada Pemerintah RI.
3. Rakyat Aceh mendanai Pemerintah RI yang baru lahir
4. Banda Aceh ( dulu Kutaradja) sebagai Ibukota PDRI
5. Peran Aceh terkait Konferensi Meja Bundar (KMB)
6. Apalagi mengenai peran Hikayat Prang Sabi (HPS) dalam Perang Kemedekaan RI ( 1945 – 1949)!
7. Dan lain-lain
Semua hal tersebut di atas, boleh dikatakan nyaris tak diketahui paling mayoritas masyarakat di luar Aceh!!!.
Penyebab utamanya, karena kesemua kisah sejarah itu; tidak dicantumkan dalam buku pelajaran di sekolah-sekolah!
Perihal keberhasilan Konferensi Meja Bundar(KMB) yang menyebabkan kemerdekaan Indonesia diakui Belanda; para sahabat saya itu, hanya tahu kesemua itu berkat kepiawaian para diplomat Indonesia.
Padahal fakta sejarahnya tidaklah demikian. Dalam hal suksesnya KMB itu, peran Aceh amat menentukan.
Namun sayang, mereka yang di luar Aceh tak “mengakui”/mengetahuinya
Walaupun ditulis amat singkat, sebenarnya pengakuan terhadap peran Aceh itu masih dapat ditelusuri.
Dalam buku “Peran TNI AU dalam Pemerintah Darurat Republik Indonesia(PDRI)” terbitan 2001 dijelaskan begini:
“Belanda menangkap para pejabat tinggi RI, termasuk KSAU Komodor Suryadarma, kemudian mengasingkannya ke Pulau Bangka.
Dengan tidak adanya pimpinan AURI, PDRI mengangkat Opsir Udara I Hubertus Suyono menjadi KSAU PDRI. Diangkat pula Opsir Udara I Soejoso Karsono, yang berkedudukan di Kutaraja, Aceh, sebagai KSAU cadangan I dan Opsir Udara II Wiweko Supono di Rangoon, Burma, sebagai KSAU cadangan II.
Digambarkan dengan jelas, betapa banyak stasiun radio yang dimiliki TNI AU masa itu, untuk mendukung komunikasi perhubungan PDRI.
Yaitu: stasiun radio "ZZ" di Kototinggi untuk melayani daerah Sumatera bagian tengah; stasiun radio pemancar "UDO" yang mengikuti gerakan gerilya PDRI; stasiun radio "PD-2" di Kutaraja dan "NBM" di Tangse, Aceh; pemancar radio "SMN" di pesawat Dakota Indonesian Airways, yang beroperasi di Rangoon, Burma; serta stasiun radio "PC-2" yang digunakan Kolonel TB Simatupang di Playen, Wonosari.
Melalui stasiun-stasiun radio AURI, semua berita perjuangan diketahui negara-negara lain”.
Belasan tahun yang lalu pernah pula saya simak suatu dialog sejarah pada TVRI-Pusat Jakarta. Acara “Forum Dialog” itu berlangsung hari Jum’at tanggal 25 Desember 1998 pukul 21.30 Wib.
Pokok pembahasan termasuk topik langka, yaitu sejarah PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) sejak 22 Desember 1948 s/d 13 Juli 1949).
Peserta dialog malam itu adalah para pelaku sejarah yang terlibat langsung dengan peristiwa sejarah itu. Yaitu Umar Said Noor mantan Wakil Kepala Stasiun Radio AURI Bukittinggi, Aboebakar Loebis mantan Diplomat RI, Bapak Halim mantan Wakil Gubernur Militer Sumatera Barat, dan didampingi oleh seorang sejarawan terkemuka Prof. Dr. Taufik Abdullah serta dengan moderator TVRI Bapak Purnama.
Lewat penuturan langsung dari para pelaku sejarah PDRI dari Sumatera Barat, barulah saya yakin bahwa peran Aceh semasa Perang Kemerdekaan RI memang cukup penting.
Beberapa fakta sejarah yang khusus menyangkut “Peran Aceh” yang terungkap pada dialog PDRI di TVRI adalah tentang peran beberapa pemancar radio di Aceh yang telah memperlancar tugas-tugas dari pemerintahan PDRI.
Nama-nama pemancar radio itu ialah Radio Tangse, Radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya. Disamping itu, juga disinggung tentang kedatangan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Aceh untuk menjumpai Mr. Sjafruddin Prawiranegara selaku Ketua PDRI yang merangkap Menteri Pertahanan/Menteri Penerangan dan Menteri Luar Negeri ad Interim (Kemudian dijabat oleh A.A. Maramis).
Dalam kedua sumber yang bukan berasal dari pelaku/penulis sejarah asal Aceh itu barulah terungkap, bahwa alat propaganda pihak kita bukan hanya radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya, tetapi ada sebuah pemancar lagi, yaitu Radio Tangse.
Lantas hati kita berdesah, masih adakah “situs sejarah Radio Tangse” setelah wilayah Tangse terkena musibah banjir bandang baru-baru ini?.
Sekarang, tergantung kesediaan Pemda Aceh dan Unsyiah serta Perguruan Tinggi lain di Aceh untuk mengangkat sejarah Peran Aceh dalam Perang Kemerdekaan RI ke tingkat nasional.
Jangan sampai nanti generasi muda Aceh akan bergumam:”Itu ‘kan celoteh pelaku sejarah Aceh saja!.
Kalau memang fakta sejarah, tentu disebut pula dalam buku sejarah nasional Indonesia!.
Bagaimana cara mengangkat Sejarah Aceh ke tingkat nasional?. Tentu saya tak perlu mengajari air mengalir!!!.
Tapi sekedar berkicau, baiklah saya sajikan beberapa cara. Yaitu:
1) Mengadakan Seminar Nasional tentang “Peran Rakyat Aceh dalam Perang Kemerdekan Republik Indonesia di Tanah Aceh (1945 – 1949)”. Seminar itu berlang sung di Jakarta pada awal bulan Agustus setiap tahun.
2) Selama masih ada Dana Otsus perlu diterbitkan banyak buku mengenai Sejarah Aceh Kontemporer, khususnya Sejarah Aceh pada masa Perang Kemerdekaan RI di Aceh. Seperti Peran Tentera Pelajar Aceh, Peran Aceh di Medan Area, Peranan Radio Rimba Raya, Radio Kutaradja, Radio Tangse dsb. Kesemua buku itu mesti beredar di Tingkat Nasional.
3) Dibuat Lomba Menulis perihal itu kepada para peserta di luar Aceh (bukan orang Aceh) dengan hadiah lomba yang membanggakan bagi penulisnya.
4) Selagi ada Dana Otsus perlu diperbanyak tulisan/berita mengenai Sejarah Aceh di media massa nasional dan daerah.
5) Dan lain-lain!.
*Kamis siang, 5 Mei 2011
*Bekas Bale Tambeh, 13 Agustus 2020,pukul 05.30 wib.
Oleh: T.A. Sakti
Copas dari graup Wa