Beberapa hari terakhir kita dihebohkan dengan isu jual-beli darah dan pengiriman darah ke wilayah luar Aceh di Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Banda Aceh. Kasus ini sontak menjadi viral di Aceh, yang memunculkan pandangan bahwa PMI Banda Aceh sudah menjual darah pendonor warga Aceh, dan di saat yang sama ada kasus pasien di Banda Aceh tidak mendapatkan pasokan darah. Sehingga muncul sikap di media sosial bahwa mereka tak akan melakukan donor darah lagi.
PMI sebagai leading sector.
Palang Merah Indonesia (PMI) berdiri pada tanggal 17 September 1945 dengan Drs. Mohammad Hatta sebagai ketua. PMI mulai merintis kegiatannya dengan memberi bantuan korban perang revolusi kemerdekaan Indonesia dan pengembalian tawanan perang sekutu maupun Jepang. Secara internasional pada 15 Juni 1950, keberadaan PMI diakui oleh Komite Internasional Palang Merah (International committee of the Red Cross) atau disingkat ICRC. PMI tidak hanya fokus pada tanggap kebencanaan namun juga terkait pelayanan darah. Kegiatan transfusi darah sudah dirintis sejak masa perjuangan revolusi. Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1980, ditetapkan bahwa pengelolaan dan pelaksanaan usaha transfusi darah ditugaskan kepada PMI atau instansi yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Peraturan ini kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah.
Rantai transfusi
Kasus polemik ini harus dijelaskan secara proporsional. Dimana terkait pelayanan darah harusnya yang menjelaskan adalah mereka yang bertanggung jawab pada pelayanan darah di PMI bukan yang lain, karena akan menimbulkan kesalahan persepsi jika apa yang disampaikan salah sehingga menimbulkan polemik di masyarakat seperti yang terjadi saat ini. Karyawan UTD merupakan karyawan professional yang terlatih karena meraka sudah mendapatkan pelatihan khusus oleh UTD pusat.
Di UTD terdapat critical control poin atau CCP guna menjamin darah tersebut aman diberikan kepada pasien. CCP ini dimulai dari persyaratan donor yaitu kadar hemoglobin normal (12,5gr/dL), berat badan minimal 45 kg, tidak sedang kosumsi obat-obatan hingga pelaksanaan donor darah yang tidak boleh dilakukan di tempat rentan risiko kontaminasi darah yaitu tempat prostitusi dan LP. Tujuannya untuk menjamin darah yang diberikan aman dari penyakit.
Masih ada lagi proses pengolahan, risiko infeksi menular lewat transfusi darah (IMLTD), ketidakcocokan golongan darah, rantai dingin darah, antigen dan antibodi pasien dan pendonor berikut masa kadarluarsa darah yang saat ini hangat diperbincangkan. Perlu diketahui darah setelah keluar dari tubuh harus terjamin tetap viable/hidup dengan memastikan nutrisi dalam darah tersebut. Makanya pada unit transfusi dibutuhkan kantong khusus yang berisi antikoagulan guna menjaga kehidupan dari darah tersebut.
Di Indonesia ada beberapa kantong darah yang digunakan, yaitu kantong 450 cc, 350 cc, dan 250 cc, dimana masing-masing kantong memiliki antikoagulan berbeda sehingga masa penyimpanan darahnya juga berbeda. Sebagai contoh, kantong 450 cc itu antikoagulan di dalamnya adalah SGAM (saline adenine glucose mannitol), dimana masa simpannya bisa mencapai 41 hari. Sedangkan pada kantong 350 cc memiliki antikoagulan CPDA (acid citrate phosphate dextrose adenine) dengan masa simpan mencapai 35 hari, dan kantong 250 antikoagulannya adalah CPD (acid citrate phosphate dextrose) yang masa simpannya hanya 21 hari. Dengan kondisi tersebut, darah yang didonorkan tidak bisa disimpan lama.
Penelitian Dr. dr. Ni Ken Ritchie, M. Biomed (Direktur UTD PMI DKI) mengungkapkan fakta jika selama penyimpanan bisa terjadi hemolysis atau kerusakan sel. Untuk itu, darah yang disimpan harus dijaga dengan baik guna menghindari kerusakan dari sel darah itu sendiri. Di sinilah harusnya bisa dipahami bahwa darah donor pada hari tertentu atau bulan tertentu tidak selamanya bisa disimpan. Jika sudah sampai waktunya, maka darah tersebut akan kadarluarsa dan jika tidak dipergunakan harus dimusnahkan.
Komponen biaya legal
Harus dipahami bahwa PMI itu unit independen, bukan di bawah pemerintah sehingga tidak ada subsidi. Untuk menyiapkan darah dan komponen darah yang aman serta berkualitas, diperlukan proses uji saring terhadap berbagai penyakit yang dapat ditularkan melalui transfusi darah. Biaya itu untuk pembelian bahan habis pakai, kantong darah, menu donor, rekrutmen donor, dan sebagainya. Jadi, komponen biaya bukan untuk jual beli darah. Dengan adanya aturan UU No.36 tahun 2009 dan turunanya dari aturan Gubernur Aceh Nomor 79 Tahun 2014 tentang Standarisasi Biaya Pengganti Pengolahan Darah di UTD PMI, disebutkan biaya yang harus dibayar Rp. 360.000 dengan rincian pengeluaran untuk jasa, admin, pemeliharaan, penyusutan dan pengembangan, biaya kantong darah, dan sebagainya dengan perincian yang lebih teknis.
Aturan ini sudah ada sejak tahun 2014 tanpa ada kenaikan sama sekali walaupun banyak kenaikan harga saat ini akibat inflasi. Ini merupakan komponen legal yang bisa diklaim oleh pelayanan darah dan seharusnya bisa gratis karena ditanggung BPJS. Timbul pertanyaan kenapa saat droping darah bisa lebih murah, hal itu karena ada satu proses pemeriksaan yang tidak dilakukan yaitu pemeriksaan cross match sehingga biayanya juga akan lebih murah. Tahapan cross match dilakukan saat darah akan dikeluarkan dan diberikan kepada pasien. Ini juga berlaku bagi rumah sakit-rumah sakit yang telah memiliki bank darah.
Semoga tulisan ini dapat menjadi pencerahan agar tidak berprasangka buruk kepada PMI, sehingga keinginan mendonor darah menjadi hilang dan akan prahara problem kemanusiaan yang tidak semakin parah.***
dr Teuku Ilhami Surya Akbar, M. Biomed
(Dosen Fakultas Kedokteran Malikussaleh Aceh Utara dan Ketua Perhimpuna Transfusi Darah Wilayah Aceh)