Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Asal Usul dan Tradisi Pesta Pernikahan di Aceh

Kamis, 27 Februari 2025 | 08:54 WIB Last Updated 2025-02-27T01:57:10Z



Aceh memiliki adat dan budaya yang kaya, termasuk dalam hal pernikahan. Pernikahan dalam masyarakat Aceh bukan sekadar ikatan antara dua individu, tetapi juga menyatukan dua keluarga besar. Pesta pernikahan di Aceh dikenal dengan kemegahan dan keunikannya, yang mencerminkan warisan sejarah serta nilai-nilai Islam yang dianut masyarakat setempat.

Artikel ini akan membahas asal usul dan perkembangan pesta pernikahan di Aceh dari zaman dahulu hingga kini, serta nilai-nilai yang terkandung dalam setiap tahapannya.


Bab 1: Asal Usul Tradisi Pernikahan di Aceh

1.1 Pengaruh Kesultanan Aceh

Sejarah pernikahan di Aceh tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kesultanan Aceh yang berdiri sejak abad ke-16. Pada masa itu, pernikahan bukan hanya urusan pribadi, tetapi juga memiliki nilai politik dan sosial. Pernikahan di kalangan bangsawan sering digunakan sebagai alat untuk memperkuat hubungan antar-kelompok atau kerajaan.

Sultan dan keluarga kerajaan biasanya menggelar pesta pernikahan dengan upacara yang megah, menampilkan adat istiadat yang dipengaruhi oleh budaya Islam dan Melayu. Beberapa elemen pernikahan kerajaan ini masih bisa ditemukan dalam tradisi masyarakat Aceh hingga saat ini, seperti peusijuek (tepung tawar), hantaran mewah, serta pesta yang melibatkan banyak orang.

1.2 Pengaruh Islam dalam Tradisi Pernikahan

Aceh dikenal sebagai "Serambi Makkah" karena menjadi pusat penyebaran Islam di Nusantara. Seiring berkembangnya Islam di Aceh, tradisi pernikahan mengalami penyesuaian agar selaras dengan ajaran Islam.

Islam mengajarkan bahwa pernikahan harus dilakukan dengan akad nikah yang sah, disaksikan oleh wali dan dua saksi, serta diikuti dengan walimah (pesta pernikahan) sebagai bentuk syiar. Oleh karena itu, pesta pernikahan di Aceh mengandung unsur-unsur keislaman yang kental, seperti prosesi khatam Al-Qur’an, doa bersama, dan zikir yang dilakukan sebelum dan sesudah pernikahan.

1.3 Pengaruh Budaya Lokal dan Tradisi Lisan

Selain pengaruh Islam dan Kesultanan Aceh, tradisi pernikahan juga dipengaruhi oleh budaya lokal dan adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Setiap suku di Aceh, seperti Aceh Besar, Gayo, Tamiang, dan Alas, memiliki variasi adat pernikahan yang berbeda-beda, tetapi semuanya tetap berpegang pada prinsip kekeluargaan, kehormatan, dan kebersamaan.


Bab 2: Prosesi Pernikahan Tradisional di Aceh

Pernikahan di Aceh terdiri dari beberapa tahapan yang memiliki makna mendalam. Berikut adalah tahapan-tahapan utama dalam prosesi pernikahan adat Aceh:

2.1 Ba Ranub (Lamaran dan Pertunangan)

Sebelum pernikahan, pihak keluarga laki-laki mengirim utusan untuk melamar calon pengantin perempuan. Prosesi ini disebut Ba Ranub atau Ba Jiroeng, yang artinya membawa sirih sebagai tanda keseriusan melamar.

Jika lamaran diterima, kedua keluarga akan menentukan hari pertunangan dan besaran mahar (jeunamee) yang akan diberikan kepada mempelai wanita. Biasanya, dalam prosesi ini juga ditentukan jumlah hantaran yang akan dibawa pada hari pernikahan.

2.2 Peusijuek (Tepung Tawar)

Peusijuek adalah upacara sakral dalam budaya Aceh yang bertujuan untuk memberikan doa keselamatan dan keberkahan kepada pasangan yang akan menikah. Ritual ini menggunakan bahan seperti beras, daun pandan, air bunga, dan kunyit yang dipercikkan ke tubuh calon pengantin sebagai simbol pembersihan diri sebelum memasuki kehidupan baru.

Peusijuek dilakukan oleh tokoh adat atau ulama yang


Penulis Azhari