Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

perang Aceh dan damai siapa korban

Rabu, 26 Februari 2025 | 23:50 WIB Last Updated 2025-02-26T16:50:42Z

Perang Aceh, yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904, merupakan salah satu konflik paling signifikan dalam sejarah kolonial Indonesia. Perang ini melibatkan perlawanan sengit antara Kesultanan Aceh dan pemerintah kolonial Belanda, dengan latar belakang yang kompleks meliputi faktor politik, ekonomi, dan sosial.

Sebelum pecahnya perang, Kesultanan Aceh merupakan kerajaan Islam yang berdaulat dan memiliki hubungan diplomatik dengan berbagai negara, termasuk Kesultanan Utsmaniyah, Inggris, dan Amerika Serikat. Posisi strategis Aceh di ujung utara Sumatera menjadikannya penguasa Selat Malaka, jalur perdagangan vital antara Timur dan Barat.

Pada pertengahan abad ke-19, Belanda telah menguasai sebagian besar wilayah di Nusantara dan berambisi untuk menguasai seluruh kepulauan Indonesia, termasuk Aceh. Keinginan Belanda untuk menguasai Aceh semakin kuat setelah melihat potensi ekonomi dan posisi strategis wilayah tersebut. Selain itu, adanya kekhawatiran Belanda terhadap pengaruh negara-negara lain, seperti Inggris dan Amerika Serikat, yang mulai menjalin hubungan dengan Aceh, mendorong Belanda untuk segera mengambil tindakan.

Pecahnya Perang

Perang Aceh dimulai pada 26 Maret 1873 ketika Belanda mengeluarkan ultimatum kepada Kesultanan Aceh, menuntut penyerahan kedaulatan kepada pemerintah kolonial. Ultimatum ini ditolak oleh pihak Aceh, yang memicu ekspedisi militer pertama Belanda di bawah komando Mayor Jenderal J.H.R. Köhler. Pasukan Belanda mendarat di Pantai Cermin, Ulee Lheue, pada 5 April 1873, dan segera bergerak menuju ibu kota Kesultanan Aceh. Namun, perlawanan gigih dari pasukan Aceh menyebabkan ekspedisi ini gagal, dan Mayor Jenderal Köhler tewas dalam pertempuran di depan Masjid Raya Baiturrahman.

Kegagalan ekspedisi pertama tidak membuat Belanda mundur. Pada akhir tahun 1873, Belanda melancarkan ekspedisi kedua di bawah pimpinan Letnan Jenderal Jan van Swieten. Kali ini, Belanda berhasil menduduki ibu kota Kesultanan dan menguasai istana sultan. Namun, Sultan Aceh dan pasukannya telah mundur ke pedalaman dan melanjutkan perlawanan melalui taktik gerilya.

Perlawanan Rakyat Aceh

Perang Aceh tidak hanya melibatkan pasukan kerajaan, tetapi juga partisipasi luas dari rakyat Aceh. Perlawanan gerilya yang dilakukan oleh masyarakat setempat membuat Belanda kesulitan mengendalikan wilayah tersebut. Tokoh-tokoh seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, dan Panglima Polim menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh.

Teuku Umar, misalnya, menggunakan strategi licik dengan berpura-pura menyerah kepada Belanda untuk mendapatkan persenjataan dan sumber daya, sebelum akhirnya kembali memimpin perlawanan. Sementara itu, Cut Nyak Dhien, istri Teuku Umar, melanjutkan perjuangan suaminya setelah Teuku Umar gugur, menunjukkan keteguhan dan keberanian luar biasa dalam memimpin pasukan gerilya.

Strategi dan Taktik Perang

Perang Aceh dikenal dengan penggunaan taktik gerilya oleh pejuang Aceh, memanfaatkan pengetahuan mereka tentang medan lokal untuk melakukan serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda. Di sisi lain, Belanda menerapkan strategi "Benteng Stelsel", membangun benteng-benteng di wilayah yang telah dikuasai untuk memperkuat posisi mereka. Namun, strategi ini tidak sepenuhnya efektif menghadapi mobilitas dan fleksibilitas pasukan gerilya Aceh.

Pada akhir abad ke-19, Belanda mengadopsi pendekatan yang lebih agresif dengan mengirimkan pasukan khusus yang dikenal sebagai "Maréchaussée" di bawah komando Jenderal J.B. van Heutsz. Pasukan ini dilatih khusus untuk perang gerilya dan berhasil menekan perlawanan Aceh secara signifikan.

Akhir Perang dan Dampaknya

Meskipun perlawanan terus berlanjut, pada awal abad ke-20, kekuatan militer Aceh mulai melemah. Penangkapan dan pengasingan Sultan Muhammad Daud Syah pada tahun 1903 menandai berakhirnya perlawanan terorganisir, meskipun perlawanan sporadis masih terjadi hingga beberapa tahun berikutnya.

Perang Aceh meninggalkan dampak yang mendalam bagi masyarakat Aceh. Selain korban jiwa yang besar, perang ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan perubahan sosial budaya. Namun, semangat perlawanan dan keteguhan rakyat Aceh dalam mempertahankan kedaulatan mereka menjadi inspirasi bagi gerakan kemerdekaan Indonesia di kemudian hari.


Maka Perang Aceh merupakan contoh nyata dari perjuangan gigih sebuah bangsa dalam mempertahankan kedaulatannya melawan kolonialisme. Meskipun menghadapi kekuatan militer yang lebih superior, rakyat Aceh menunjukkan bahwa semangat dan tekad dapat menjadi senjata ampuh dalam melawan penindasan. Warisan sejarah ini terus dikenang dan menjadi bagian integral dari identitas dan kebanggaan masyarakat Aceh hingga saat ini.