Asal Usul Istilah "Cina Buta" di Aceh
Istilah "cina buta" diyakini pertama kali muncul di Aceh pada masa Kesultanan Aceh Darussalam sekitar abad ke-17 Masehi. Menurut catatan Syeikh Ismail bin Abdul Muthallib al-Asyiyyi dalam kitabnya Jam‘u Jawami‘il Mushannafat, ada sebuah kisah yang menjadi asal mula istilah ini. Diceritakan bahwa seorang pria menceraikan istrinya dengan talak tiga. Setelah beberapa waktu, ia ingin rujuk kembali dengan mantan istrinya tersebut. Namun, sesuai dengan syariat Islam, mantan istrinya harus menikah terlebih dahulu dengan pria lain dan bercerai sebelum ia bisa menikah lagi dengan suami pertamanya. Pria tersebut khawatir jika istrinya menikah dengan pria normal, maka pria tersebut mungkin enggan menceraikannya karena kecantikan istrinya. Secara kebetulan, ada seorang mualaf keturunan Tionghoa yang tunanetra. Pria ini kemudian diminta untuk menikahi mantan istri pria tersebut dengan kesepakatan akan menceraikannya setelahnya, sehingga mantan suami bisa menikahinya kembali. Dari peristiwa inilah istilah "cina buta" mulai dikenal di kalangan masyarakat Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh Nusantara.
Praktik Nikah Muhallil dalam Perspektif Fikih Syafi'iyah
Dalam fikih Syafi'iyah, nikah muhallil memiliki ketentuan khusus. Pernikahan ini dianggap sah jika memenuhi syarat-syarat berikut:
-
Berakhirnya Masa Iddah: Setelah ditalak tiga, wanita harus menyelesaikan masa iddahnya sebelum menikah dengan pria lain.
-
Pernikahan dengan Suami Kedua: Wanita tersebut harus menikah dengan pria lain (suami kedua) melalui akad nikah yang sah.
-
Konsumasi Pernikahan: Pernikahan dengan suami kedua harus dilanjutkan dengan hubungan suami istri yang nyata.
-
Perceraian dari Suami Kedua: Setelah hubungan suami istri terjadi, suami kedua harus menceraikan wanita tersebut.
-
Berakhirnya Masa Iddah Kedua: Wanita harus menyelesaikan masa iddahnya setelah perceraian dari suami kedua.
Setelah semua syarat ini terpenuhi, barulah wanita tersebut halal untuk menikah kembali dengan suami pertamanya. Namun, jika pernikahan dengan suami kedua dilakukan dengan niat semata-mata untuk menghalalkan kembali pernikahan dengan suami pertama, tanpa adanya niat pernikahan yang sesungguhnya, maka praktik ini dianggap tidak sah dan dilarang dalam Islam.
Pandangan Masyarakat dan Kontroversi
Praktik "cina buta" telah menimbulkan berbagai pandangan di kalangan masyarakat. Sebagian menganggapnya sebagai solusi untuk pasangan yang ingin rujuk setelah talak tiga, sementara yang lain melihatnya sebagai bentuk manipulasi terhadap hukum syariat. Kontroversi ini muncul karena praktik tersebut sering kali melibatkan perjanjian tersembunyi antara suami pertama, suami kedua, dan wanita yang ditalak, dengan tujuan utama untuk menghalalkan kembali pernikahan dengan suami pertama. Dalam banyak kasus, suami kedua dibayar atau diberi imbalan untuk menikahi dan kemudian menceraikan wanita tersebut, yang menjadikan pernikahan ini tidak lebih dari sekadar formalitas tanpa niat membangun rumah tangga yang sesungguhnya.
Selain itu, istilah "cina buta" sendiri dianggap mengandung konotasi negatif dan stereotip terhadap etnis Tionghoa dan penyandang disabilitas. Penggunaan istilah ini dapat memperkuat stigma dan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok tersebut. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami asal-usul istilah ini dan mempertimbangkan dampak penggunaannya dalam konteks sosial dan budaya.
Kesimpulan
Istilah "cina buta" memiliki akar sejarah yang panjang dalam masyarakat Aceh dan merujuk pada praktik nikah muhallil yang bertujuan untuk memungkinkan pasangan yang telah bercerai dengan talak tiga untuk rujuk kembali. Meskipun praktik ini memiliki dasar dalam hukum Islam, pelaksanaannya sering kali menimbulkan kontroversi, terutama ketika melibatkan niat dan perjanjian tersembunyi yang bertentangan dengan esensi pernikahan dalam Islam. Selain itu, penggunaan istilah "cina buta" perlu dipertimbangkan kembali mengingat potensi konotasi negatif dan diskriminatif yang mungkin timbul. Pemahaman yang lebih mendalam dan sensitif terhadap sejarah, hukum, dan implikasi sosial dari praktik ini diharapkan dapat membantu masyarakat dalam mengambil sikap yang bijak dan adil.
Penulis Azhari