1. Pengertian Mahar dalam Hukum Islam dan Hukum Positif
Mahar (mas kawin) adalah pemberian wajib dari mempelai pria kepada mempelai wanita dalam pernikahan menurut hukum Islam. Dalam hukum Islam, mahar merupakan hak istri yang harus diberikan oleh suami sebagai bentuk penghormatan dan kewajiban dalam akad nikah.
Dalam hukum positif Indonesia, mahar diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Pasal 30 KHI menyatakan bahwa mahar dapat berupa benda atau jasa yang tidak bertentangan dengan syariat Islam.
2. Penipuan Mahar dalam Pernikahan
Penipuan mahar dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya:
- Memberikan mahar palsu (contoh: emas atau barang berharga yang ternyata imitasi)
- Berjanji memberikan mahar namun tidak pernah ditepati
- Mahar fiktif (misalnya mencantumkan jumlah besar dalam akad, tetapi sebenarnya tidak ada)
Tindakan ini dapat dikategorikan sebagai penipuan, yang melanggar baik hukum Islam maupun hukum pidana di Indonesia.
3. Analisis Hukum dalam Islam
Dalam Islam, penipuan dilarang keras, sebagaimana dalam hadis:
"Barang siapa yang menipu, maka ia bukan golongan kami." (HR. Muslim)
Jika suami menipu terkait mahar, istri berhak:
- Menuntut haknya sesuai dengan mahar yang dijanjikan
- Membatalkan akad nikah jika merasa tertipu (tergantung pertimbangan hakim)
4. Analisis Hukum dalam Hukum Positif Indonesia
Penipuan mahar dapat dikenakan Pasal 378 KUHP tentang penipuan, yang menyatakan:
"Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau tipu muslihat, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan suatu barang, maka diancam dengan pidana penjara paling lama 4 tahun."
Jika terbukti ada unsur penipuan dalam pemberian mahar, suami dapat dituntut secara pidana oleh istri atau keluarganya.
5. Kesimpulan
Penipuan dalam mahar adalah pelanggaran serius, baik dalam hukum Islam maupun hukum pidana Indonesia. Jika seorang suami berbohong atau menipu terkait mahar, maka istri dapat menuntut haknya secara hukum agama maupun hukum negara.
Untuk menghindari masalah ini, transparansi dan kejujuran dalam pernikahan sangat penting. Jika terjadi sengketa, istri bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama atau melapor ke pihak berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Penulis Azhari