Di dunia yang serba cepat ini, manusia dibekali akal dan keinginan yang tak terbatas. Sejak kecil, kita didorong untuk memiliki cita-cita: menjadi dokter, insinyur, pengusaha, seniman, atau bahkan pemimpin dunia. Dunia modern, dengan gemerlapnya kesuksesan material, seolah-olah membangun narasi bahwa kita harus mengejar impian setinggi langit, menaklukkan dunia, dan mencapai puncak kesuksesan. Namun, di balik semangat kompetitif ini, terbentang satu kenyataan yang tak terelakkan—kematian, akhir dari semua perjalanan kita.
Cita-cita: Kompas Menuju Harapan
Cita-cita adalah hak setiap manusia, sebuah kompas yang memandu harapan dan motivasi. Tanpa cita-cita, hidup terasa hampa, kehilangan arah. Cita-cita mendorong kita untuk belajar, bekerja keras, dan berkembang menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam konteks tertentu, cita-cita merupakan bentuk rasa syukur atas anugerah kehidupan—kita menghargai waktu dan potensi yang kita miliki dengan merancang masa depan yang lebih baik.
Namun, penting untuk menyadari bahwa cita-cita hanyalah alat, bukan tujuan akhir. Ia bukanlah satu-satunya indikator nilai seseorang. Ada banyak individu yang mungkin tidak mencapai cita-cita formal mereka, namun berhasil menjalani hidup dengan damai, bermakna, dan memberi manfaat bagi orang lain. Kebahagiaan sejati tidak selalu diukur dari pencapaian material.
Ambisi: Pedang Bermata Dua
Ambisi menjadi masalah ketika ia berubah menjadi obsesi yang membutakan. Ketika seseorang begitu terpaku pada pencapaian hingga mengorbankan hal-hal esensial—keluarga, kesehatan, etika, bahkan kebahagiaan batin—di situlah ambisi menjadi beban yang menghancurkan. Kita hidup dalam masyarakat yang memuja prestasi, namun sering melupakan pertanyaan fundamental: "Untuk apa semua ini?"
Banyak orang rela melakukan hal-hal yang tidak terpuji, menjatuhkan orang lain, atau kehilangan jati diri demi ambisi yang tak pernah terpuaskan. Mereka terus berlari tanpa pernah merasa cukup, dan ketika akhirnya mencapai puncak, yang mereka temukan hanyalah kehampaan. Puncak itu ternyata tidak setinggi harapan, dan perjalanan panjang telah mengikis banyak hal yang berharga.
Kematian: Pengingat akan Kehidupan yang Terbatas
Kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti, melainkan pengingat akan keterbatasan hidup. Ia mengingatkan kita bahwa segala yang kita kejar—kekayaan, jabatan, popularitas—akan sirna. Kekuatan fisik akan melemah, harta benda akan berpindah tangan, dan nama besar akan memudar dalam lembah sejarah. Yang abadi hanyalah amal, niat baik, dan warisan moral yang kita tinggalkan.
Kesadaran akan kematian dapat mengubah perspektif kita terhadap ambisi. Kita tidak lagi hanya mengejar pencapaian duniawi, melainkan mulai mencari nilai-nilai abadi: kebaikan, ketulusan, dan kebermanfaatan bagi sesama. Kesadaran ini menuntun kita untuk membuat pilihan yang lebih bijak, memperlakukan orang lain dengan lebih lembut, dan memaknai hidup dengan lebih rendah hati.
Hidup dengan Kesadaran, Bukan Ketakutan
Memahami bahwa kematian adalah akhir dari perjalanan hidup bukan berarti kita harus berhenti bercita-cita. Justru sebaliknya, kita perlu memiliki cita-cita, namun dengan kesadaran yang utuh. Kita bekerja keras bukan karena takut gagal, melainkan karena ingin memberi makna pada hidup. Kita mengejar mimpi bukan karena ingin lebih baik dari orang lain, melainkan karena ingin menjadi versi terbaik dari diri sendiri sebelum waktu habis.
Ambisi yang sehat adalah ambisi yang seimbang. Ia tahu kapan harus mengejar dan kapan harus melepaskan. Ia memahami bahwa kegagalan bukanlah akhir segalanya, dan kemenangan bukanlah segalanya. Ia menempatkan nilai-nilai seperti kejujuran, kasih sayang, dan keikhlasan di atas pencapaian lahiriah.
Penutup: Menuju Akhir yang Tenang
Pada akhirnya, kita semua akan sampai di tempat yang sama. Yang membedakan adalah bagaimana kita menjalani perjalanan hidup. Apakah kita berlari tanpa henti demi ego, atau berjalan dengan tenang sambil memberi manfaat bagi sesama? Dunia ini memang luas dan penuh kemungkinan, namun jangan sampai kita melupakan tujuan akhir: bukan popularitas, bukan kekayaan, bukan kekuasaan—melainkan kedamaian hati saat ajal menjemput.
Miliki cita-cita, namun jangan terlalu ambisius. Karena tujuan akhir manusia adalah kematian—dan hidup yang baik adalah hidup yang disadari, dijalani dengan bijak, dan diakhiri dengan tenang.