Di era digital, persahabatan dan kepentingan sering kali berjalan berdampingan. Dalam dunia buzzer—di mana opini bisa dikendalikan dan kepentingan bisa dijual—persahabatan pun terkadang menjadi alat, bukan sekadar hubungan tulus. Namun, apakah semua persahabatan yang terkait dengan kepentingan itu buruk? Ataukah ada batasan yang masih bisa dijaga?
1. Persahabatan: Tulus atau Sekadar Transaksi?
Persahabatan sejati dibangun di atas kepercayaan dan ketulusan. Namun, dalam dunia yang semakin pragmatis, banyak hubungan yang terbentuk karena kebutuhan: pergaulan, peluang bisnis, atau bahkan agenda tertentu. Ini bukan hal baru—sejak dulu, orang berjejaring untuk memperluas pengaruh atau mencapai tujuan bersama.
Perbedaannya adalah, dalam dunia buzzer, hubungan sering kali menjadi "strategis." Seseorang mungkin mendekati teman bukan karena suka atau menghargai, tetapi karena ada sesuatu yang bisa dimanfaatkan—entah itu akses ke jaringan tertentu, kekuatan opini, atau potensi keuntungan finansial.
2. Buzzer dan Dinamika Kepentingan
Buzzer bekerja dengan membentuk opini publik, sering kali atas dasar pesanan. Mereka bisa mengangkat seseorang menjadi sosok yang dihormati, atau menjatuhkan seseorang dengan narasi yang dirancang. Dalam ekosistem ini, persahabatan bisa berubah menjadi alat untuk:
- Membangun jaringan kekuatan – Bergaul dengan orang berpengaruh untuk memperkuat posisi.
- Mendapatkan validasi dan dukungan – Sebuah opini lebih kuat jika didukung banyak pihak.
- Menjalankan agenda tersembunyi – Kadang, kedekatan dimanfaatkan untuk menggiring opini tertentu.
Dalam kondisi ini, sulit membedakan mana hubungan yang tulus dan mana yang hanya bersifat fungsional.
3. Di Mana Batasannya?
Tidak semua kepentingan dalam persahabatan itu buruk. Dalam dunia profesional, banyak hubungan yang dibangun atas dasar kepentingan, tetapi tetap berlandaskan saling menghormati. Masalahnya muncul ketika:
- Hubungan menjadi manipulatif – Salah satu pihak hanya dimanfaatkan tanpa dihargai secara tulus.
- Ada ketidakjujuran dalam niat – Seseorang berpura-pura bersahabat hanya untuk kepentingan tertentu, lalu menghilang ketika tidak butuh lagi.
- Mengorbankan nilai moral – Jika demi kepentingan, seseorang rela menyebarkan fitnah atau menjatuhkan orang lain, itu bukan lagi strategi, tapi sudah etika yang dipertanyakan.
4. Menjaga Persahabatan di Tengah Kepentingan
Agar persahabatan tidak sekadar transaksional, ada beberapa hal yang bisa dijaga:
- Tulus dalam menjalin hubungan, bukan sekadar mencari manfaat.
- Jangan menjual prinsip hanya demi kepentingan sesaat.
- Tetap kritis terhadap lingkungan sekitar, terutama jika ada yang terlalu mendekati hanya saat mereka butuh.
- Bangun persahabatan yang berlandaskan nilai, bukan sekadar keuntungan.
Pada akhirnya, persahabatan dan kepentingan memang sulit dipisahkan. Namun, yang membedakan adalah bagaimana kita menjaga niat dan nilai di dalamnya. Jika persahabatan hanya bertahan selama ada kepentingan, mungkin itu bukan persahabatan, melainkan sekadar hubungan bisnis yang berkedok kedekatan pribadi.