Kata-kata "ya sudah" seringkali terdengar sederhana, bahkan terkesan pasif. Namun, dari mulut seorang wanita yang lelah, kalimat itu menyimpan beban emosi yang jauh lebih dalam. Bukan sekadar kelemahan, melainkan tanda keletihan batin dan pikiran yang telah mencapai titik puncaknya. Ia memilih untuk mengiyakan semua ucapan pasangannya, bukan karena lemah, melainkan karena malas berdebat, malas beradu mulut yang akan berujung pada air mata yang berlinang.
Di balik "ya sudah" yang terucap lirih, tersimpan kekosongan. Tatapan matanya mungkin masih menatap, tetapi kosong, tanpa cahaya. Senyumnya mungkin masih tersungging di bibir, tetapi hambar, tanpa rasa. Semua itu adalah manifestasi dari perlakuan buruk yang telah diterimanya, luka yang terpendam dalam diam.
Kelelahan fisik berbeda dengan kelelahan batin. Jika kelelahan fisik dapat diatasi dengan istirahat, kelelahan batin dan pikiran membutuhkan ruang untuk merenung, untuk menangis, untuk melepaskan beban emosi yang terakumulasi. Wanita yang lelah batin akan terlihat dari matanya yang selalu basah karena air mata, dari kegelisahannya yang tak kunjung reda, bahkan saat mencoba tidur sejenak. Tidur pun tak mampu memberikan ketenangan karena batin dan pikirannya sedang bergumul dengan masalah yang tak kunjung usai.
Wanita adalah makhluk yang dikenal dengan kemampuan berpikirnya yang tajam dan mendalam. Pikirannya mampu menjelajahi berbagai kemungkinan, menganalisis situasi, dan merasakan emosi dengan intensitas yang tinggi. Ketika pikirannya dipenuhi oleh satu hal yang menyakitkan, terutama yang menyangkut hatinya, dampaknya bisa sangat fatal bagi kesehatan mentalnya. "Ya sudah" bukanlah tanda penerimaan, melainkan tanda menyerah, tanda bahwa ia telah mencapai titik jenuh dan membutuhkan pertolongan. Ia membutuhkan pemahaman, dukungan, dan perubahan situasi yang dapat mengembalikan kedamaian dalam jiwanya. "Ya sudah" adalah jeritan hati yang terselubung, sebuah isyarat bahwa sesuatu yang serius perlu diatasi sebelum terlambat.