Opini | Aceh: Korban Politik dan Korban Konflik
Oleh: Azhari
Selama puluhan tahun, Aceh menjadi panggung bagi sejarah kelam politik dan konflik bersenjata yang berkepanjangan. Sejarah mencatat bahwa Aceh tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga korban dari tarik-menarik kepentingan kekuasaan—baik antara pusat dan daerah, maupun antarelite lokal. Dari luka konflik bersenjata hingga janji-janji damai yang tak seluruhnya ditepati, rakyat Aceh terus menanggung beban sejarah yang panjang.
Politik yang Tidak Pernah Netral
Politik di Aceh, sejak masa Orde Baru hingga era otonomi khusus, jarang berpihak penuh pada rakyat. Pengelolaan kekayaan alam yang timpang, marginalisasi dalam kebijakan pembangunan, serta dominasi pusat atas daerah menjadi bara api yang menyulut kemarahan masyarakat. Dalam konteks ini, lahir Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1976 sebagai bentuk perlawanan terhadap apa yang dianggap sebagai kolonialisasi internal.
Namun, setelah konflik berakhir melalui MoU Helsinki 2005, politik Aceh kembali menunjukkan wajah lamanya. Dana Otsus yang besar, partai politik lokal, dan kebebasan mengelola urusan sendiri tidak serta-merta membawa perubahan berarti bagi masyarakat. Sebaliknya, rakyat kembali jadi penonton dalam panggung politik yang dimainkan oleh elite-elite baru—sebagian besar dari mereka justru lahir dari rahim perjuangan.
Luka Konflik yang Belum Pulih
Konflik Aceh bukan sekadar sejarah kekerasan. Ia menyisakan trauma yang hidup dalam diam: ribuan korban jiwa, perempuan yang kehilangan suami, anak-anak yang tumbuh tanpa ayah, dan generasi muda yang kehilangan akses terhadap pendidikan dan keamanan. Dalam konteks pascakonflik, Aceh butuh lebih dari sekadar pembangunan fisik—Aceh butuh pemulihan jiwa.
Sayangnya, pendekatan pembangunan selama ini cenderung berfokus pada infrastruktur dan angka, bukan pada keadilan restoratif dan pemberdayaan masyarakat. Banyak korban konflik yang belum mendapat kompensasi atau pengakuan, dan ini memperparah ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan elite politik.
Ketika Damai Tak Sama dengan Kesejahteraan
Pertanyaan besar hari ini adalah: apakah damai yang telah dibangun membawa keadilan dan kesejahteraan? Banyak kalangan di Aceh mulai meragukan efektivitas otonomi khusus. Dana triliunan rupiah belum mampu mengangkat indeks pembangunan manusia secara signifikan. Pengangguran masih tinggi, angka kemiskinan stagnan, dan ketimpangan antarwilayah masih terasa.
Ironisnya, sebagian besar manfaat dari damai justru dinikmati oleh segelintir elit yang menjadikan politik sebagai ladang kekuasaan. Demokrasi lokal berjalan, tapi masih terjebak dalam praktik transaksional yang merugikan publik. Aceh, sekali lagi, jadi korban—bukan dari senjata, tapi dari sistem yang gagal berubah.
Mendorong Rakyat Jadi Subjek
Aceh tidak boleh terus-terusan menjadi objek. Saatnya rakyat menjadi subjek utama perubahan. Anak muda Aceh, khususnya, punya peran vital dalam merawat damai dan membangun masa depan. Mereka harus berani bersuara, kritis terhadap kebijakan, dan aktif dalam menciptakan ruang baru untuk partisipasi publik.
Rakyat harus mengawal pemanfaatan dana Otsus, menuntut transparansi, dan menolak politik dinasti serta korupsi. Hanya dengan gerakan kolektif dan kesadaran baru, Aceh bisa keluar dari siklus korban menjadi penggerak.
Penutup: Dari Luka Menuju Harapan
Aceh pernah berdarah karena politik dan konflik. Tapi sejarah tidak ditulis sekali. Ia bisa diubah, diperbaiki, dan ditata ulang oleh generasi yang sadar akan pentingnya nilai damai yang sejati. Bukan damai yang sekadar sunyi dari peluru, tapi damai yang menghadirkan rasa aman, adil, dan sejahtera bagi seluruh rakyat.
Kini, bola ada di tangan kita semua: apakah kita akan terus membiarkan Aceh jadi korban, atau menjadikannya teladan bagi daerah-daerah lain yang pernah patah, tapi mampu bangkit lebih kuat?