Di tengah ancaman perubahan iklim, serangan hama, dan fluktuasi harga pasar, petani Indonesia—terutama di daerah seperti Aceh—menjadi kelompok paling rentan dalam mata rantai ketahanan pangan nasional. Padahal, mereka adalah ujung tombak penyedia pangan. Sudah saatnya negara hadir lebih konkret dalam menjamin masa depan mereka, salah satunya melalui asuransi pertanian yang merata, terjangkau, dan adil.
Mengapa Asuransi Pertanian Penting?
Asuransi pertanian bukan sekadar produk keuangan, tapi bentuk perlindungan sosial berbasis pangan. Saat sawah gagal panen akibat banjir atau kekeringan, atau saat harga anjlok karena kelebihan suplai, petani kerap tidak punya cadangan. Mereka berutang, menjual lahan, atau terpaksa berhenti bertani.
Inilah saat negara seharusnya hadir, bukan sekadar sebagai regulator, tetapi sebagai penjamin atas profesi mulia ini.
Program yang Sudah Ada: Langkah Awal yang Perlu Diperluas
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian telah meluncurkan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP) dan Asuransi Usaha Ternak Sapi/Kerbau (AUTS/K). Dalam program ini:
- Petani hanya membayar premi sekitar Rp36.000 per hektare per musim tanam (dari total premi Rp180.000), sisanya disubsidi negara.
- Jika terjadi gagal panen akibat banjir, kekeringan, atau serangan hama, petani bisa mendapat klaim hingga Rp6 juta per hektare.
Namun, jumlah petani yang terakses program ini masih jauh dari ideal. Kurangnya sosialisasi, keterbatasan kuota, dan birokrasi administrasi membuat banyak petani kecil belum terlayani.
Aceh dan Wilayah Lain: Saatnya Menyusun Peta Perlindungan Petani
Di daerah seperti Aceh, yang rawan banjir musiman dan ketergantungan tinggi pada pertanian, program ini seharusnya menjadi prioritas pemerintah daerah. Pemerintah kabupaten/kota bisa:
- Mengalokasikan dana otsus dan APBK untuk subsidi premi tambahan.
- Membentuk unit asuransi pertanian syariah lokal yang lebih dipercaya petani.
- Melibatkan keuchik, tuha peut, dan kelompok tani dalam sistem verifikasi klaim agar tidak tersendat di meja birokrasi.
Ini bukan soal bisnis, tapi soal keberpihakan. Bila petani tak punya jaminan usaha, maka sawah-sawah akan perlahan ditinggalkan. Lalu siapa yang akan menanam padi untuk anak cucu kita?
Membangun Sistem yang Adil: Tak Cukup dengan Klaim Saja
Asuransi pertanian juga perlu disertai dengan:
- Pendidikan literasi pertanian digital, agar petani bisa melapor kerusakan secara cepat melalui sistem online.
- Peningkatan kapasitas penyuluh lapangan, sebagai penghubung antara negara dan petani.
- Sinergi antara Dinas Pertanian, BPJS Ketenagakerjaan, dan koperasi tani, agar perlindungan petani bersifat menyeluruh, termasuk jaminan kecelakaan kerja.
Dasar Hukum Asuransi Pertanian
Asuransi pertanian bukan kebijakan semu, ia berpijak pada landasan hukum yang kuat:
- Undang-Undang No. 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, Pasal 37–41, menegaskan pentingnya penyelenggaraan asuransi usaha tani sebagai perlindungan atas risiko kegagalan produksi.
- Peraturan Menteri Pertanian No. 40/Permentan/SR.230/7/2015 mengatur teknis pelaksanaan program Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP).
- RPJMN 2020–2024 memasukkan asuransi pertanian sebagai bagian dari strategi nasional pembangunan sektor pertanian.
- Di daerah seperti Aceh, kebijakan ini dapat diperkuat oleh qanun daerah atau regulasi syariah lokal, yang memungkinkan pendekatan tolong-menolong dan perlindungan berbasis adat dan agama—termasuk asuransi pertanian berbasis syariah.
Penutup: Petani Bukan Objek, Tapi Mitra Negara
Ketahanan pangan bukan hanya soal produksi pangan, tetapi tentang menjaga keberlangsungan hidup petani. Negara tidak bisa membiarkan mereka bertarung sendiri menghadapi alam dan ketidakpastian ekonomi. Asuransi pertanian adalah bentuk nyata dari keadilan sosial dan penghormatan terhadap profesi yang memberi makan bangsa.
Sudah waktunya Aceh dan seluruh Indonesia menjadikan asuransi pertanian sebagai hak petani, bukan sekadar program bersyarat.