Bireuen dalam Mimpi Pembangunan, dan Cita-Cita Para Dhuafa dalam Peningkatan Ekonomi
Di atas tanah Bireuen yang dahulu dikenal sebagai basis perjuangan, kini tumbuh mimpi-mimpi baru. Mimpi tentang pembangunan, jalan-jalan mulus, gedung-gedung megah, taman-taman kota yang rindang, dan lampu jalan yang menyala hingga dini hari. Namun di sela gemerlap pembangunan itu, ada suara yang lirih namun penuh harap: suara kaum dhuafa, yang bercita-cita sederhana—sekadar bisa makan layak, menyekolahkan anak, dan berdagang tanpa terusir dari lapak.
Bireuen hari ini berdiri di antara dua poros: ambisi pembangunan fisik yang dikejar elite dan harapan hidup layak yang dipeluk erat oleh rakyat kecil. Di sinilah persoalan utama muncul: apakah pembangunan benar-benar menyentuh akar rumput, atau hanya menjadi mimpi indah yang tidak pernah singgah ke warung kopi gubuk di pinggir pasar?
Ketimpangan yang Terus Meninggi
Kaum dhuafa di Bireuen bukan tak punya semangat. Mereka gigih, berdagang dari pagi hingga malam, menjual kue-kue sederhana, menjahit, bertani, hingga memulung. Tapi jerih payah itu tak sebanding dengan biaya hidup yang makin tinggi. Harga sembako naik, lapangan kerja stagnan, dan bantuan sosial tak jarang bersyarat. Ekonomi mikro yang seharusnya diberdayakan justru terlupakan oleh narasi pembangunan besar-besaran yang lebih mengutamakan citra.
Ketika pembangunan hanya menjadi soal proyek-proyek besar, maka yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin kehilangan pijakan. Mimpi para dhuafa tentang peningkatan ekonomi bukanlah soal gedung tinggi, tapi tentang akses modal, pelatihan keterampilan, dan pasar yang adil.
Membangun Bireuen dari Bawah, Bukan dari Atas
Jika pemerintah serius ingin menjadikan Bireuen sebagai kabupaten yang maju dan mandiri, maka pembangunan harus berpusat pada rakyat. Artinya, bukan sekadar mendirikan infrastruktur, tetapi membangun sistem yang memberdayakan. Misalnya:
- Menghidupkan koperasi rakyat dan pasar tradisional dengan digitalisasi dan permodalan berbasis syariah.
- Memberikan insentif dan pelatihan kepada pedagang kecil dan UMKM.
- Memastikan anggaran desa digunakan untuk program ekonomi produktif, bukan sekadar habis untuk seremonial.
- Mendirikan pusat-pusat keterampilan dan pelatihan kerja berbasis potensi lokal, seperti pengolahan hasil pertanian dan kerajinan.
Pemerintah dan Rakyat: Harus Satu Langkah
Dhuafa bukan objek belas kasih, mereka adalah subjek perubahan. Ketika mereka diberi peluang dan dilibatkan dalam perencanaan pembangunan, maka akan lahir solusi yang adil dan nyata. Pemerintah Bireuen harus mulai mendengarkan bukan hanya dari ruang rapat, tapi juga dari emperan toko, warung kopi, dan sawah yang retak karena kemarau.
Pembangunan yang adil adalah ketika rumah dhuafa berdinding papan tetap berdiri kokoh karena anak-anak mereka bisa sekolah, bisa makan cukup, dan bisa bermimpi lebih tinggi dari sekadar hidup hari ini.
Menjemput Mimpi, Menghidupkan Harapan
Bireuen harus menjadi rumah bersama, bukan hanya bagi elite yang berwacana di menara gading, tapi juga bagi para penjual kue keliling, petani, dan nelayan yang tak pernah lelah berharap. Cita-cita mereka bukan utopia, hanya perlu kepemimpinan yang berpihak, visi yang membumi, dan kebijakan yang mengerti rasa lapar dan letih.
Bireuen dalam mimpi pembangunan tidak boleh melupakan cita-cita para dhuafa. Karena sejatinya, wajah kemajuan suatu daerah tercermin dari bagaimana ia memperlakukan yang paling lemah. Dan dari tangan-tangan dhuafa itulah, sejatinya fondasi kemajuan bisa dibangun—dengan semangat, ketulusan, dan kerja nyata.