Desa bukan lagi sekadar pelengkap pembangunan nasional. Sejak berlakunya Undang-Undang Desa, desa justru menjadi subjek penting dalam arsitektur ekonomi Indonesia. Di sinilah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) hadir sebagai instrumen vital dalam menggerakkan ekonomi lokal dan membuka lapangan kerja.
Namun, sebesar apa pun potensi BUMDes, ia tak akan berjalan tanpa Sumber Daya Manusia (SDM) yang mumpuni. Di banyak tempat, BUMDes hanya menjadi etalase program—dibentuk untuk memenuhi syarat administrasi, bukan untuk benar-benar tumbuh sebagai unit usaha produktif. Akibatnya, banyak BUMDes yang mandek, bahkan merugi.
Padahal jika dikelola dengan baik, BUMDes bisa menjadi katalis perubahan: mengelola pasar desa, distribusi pupuk, pengolahan hasil tani, usaha wisata, hingga penyedia jasa keuangan mikro. Namun semua itu menuntut kompetensi manajerial, semangat wirausaha, serta integritas dari pengelolanya.
Masalah terbesar saat ini bukan pada kurangnya dana, tetapi pada lemahnya SDM dan tata kelola. Banyak pengurus BUMDes belum memahami dasar-dasar bisnis, akuntansi, pemasaran, apalagi digitalisasi. Maka solusi tidak cukup dengan membentuk BUMDes—perlu investasi besar dalam pelatihan SDM desa.
Pemerintah pusat dan daerah perlu bersinergi: menyelenggarakan pelatihan rutin, pendampingan usaha, dan akses jejaring pasar. Di sisi lain, BUMDes juga harus membuka diri kepada kaum muda desa. Generasi muda yang akrab dengan teknologi dan media sosial bisa menjadi motor penggerak usaha desa yang adaptif.
Kita tidak bisa terus membiarkan desa hanya sebagai penerima bantuan. Desa harus menjadi produsen, pengelola, dan penggerak. Dan itu hanya bisa dicapai jika BUMDes dan SDM-nya dibina, diberdayakan, dan diposisikan sebagai pilar utama kemajuan desa.
Kemajuan Indonesia tidak mungkin dicapai dengan membiarkan desa tertinggal. Maka membangun BUMDes dan SDM desa secara serius adalah investasi jangka panjang untuk kemandirian bangsa.
Penulis Azhari
