Oleh: Azhari
Aceh adalah tanah yang pernah disegani. Di peta sejarah dunia Islam, Aceh berdiri kokoh sebagai benteng ilmu, perlawanan, dan peradaban. Namun hari ini, kita dihadapkan pada realita yang menyakitkan: Aceh perlahan dilupakan, bukan oleh orang lain, tapi oleh generasinya sendiri. Yang hilang bukan hanya kenangan, tapi akar yang mengikat identitas.
1. Lahir di Tanah Aceh, Tapi Tak Mengenalnya
Hari ini banyak anak muda Aceh tak lagi akrab dengan nama-nama besar seperti Sultan Iskandar Muda, Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Syiah Kuala, atau Tengku Hasan Krueng Kale. Mereka mungkin hafal tokoh asing dari film, anime, atau drama Korea, tapi lupa siapa ulama atau syuhada tanah sendiri. Mereka lebih lancar bicara bahasa Inggris dari pada bahasa Aceh, Gayo, Tamiang, atau Alas.
Ini bukan sekadar pergeseran zaman. Ini adalah gejala putusnya rantai sejarah dan budaya. Sebuah krisis yang pelan namun menghantam akar identitas.
2. Mengapa Generasi Kini Melupakan Bumi Aceh?
Ada beberapa penyebab utama yang membuat generasi sekarang terasing dari bumi kelahirannya:
a. Pendidikan yang Tidak Membumi
Kurikulum pendidikan di Aceh lebih banyak mengadopsi narasi nasional dan global, tanpa menanamkan kearifan lokal. Sejarah Aceh disinggung seadanya, budaya Aceh dipelajari sekilas. Sekolah gagal menjadi ruang pewarisan nilai lokal.
b. Keluarga yang Tidak Lagi Berkisah
Dulu, warisan budaya ditanam melalui cerita orang tua, petuah kakek-nenek, dan kehidupan sehari-hari. Kini, keluarga sibuk dengan gadget, obrolan diganti layar. Nilai adat dan agama tidak diturunkan lewat pengalaman, hanya lewat larangan.
c. Modernisasi yang Tidak Berakar
Teknologi dan globalisasi memang tak bisa dihindari. Tapi tanpa filter nilai, budaya luar masuk membanjiri jiwa muda Aceh. Mereka lebih bangga mengikuti tren global ketimbang menjaga identitas lokal.
d. Pemerintah yang Abai pada Budaya
Pelestarian budaya Aceh masih bersifat simbolik. Festival dan seremoni adat hanya jadi agenda seremonial. Tak ada peta kebudayaan yang utuh dan terintegrasi ke dalam pembangunan jangka panjang.
3. Ketika Bumi Hanya Jadi Tanah, Bukan Rasa
Bumi Aceh bukan sekadar wilayah administratif. Ia adalah tanah yang mengandung doa para syuhada, air mata para ulama, dan harapan para indatu. Ketika generasi muda tidak lagi memahami rasa ini, maka Aceh berubah jadi tempat yang kosong—tanpa makna.
Di masa lalu, Aceh dikenal karena semangat perjuangan, ketinggian ilmu, dan adab sosial yang luhur. Namun hari ini, banyak pemuda bingung menentukan arah. Mereka tumbuh di tengah kehilangan: kehilangan narasi, kehilangan jati diri, kehilangan semangat kolektif.
4. Akibat Melupakan Bumi Sendiri
Melupakan Aceh bukan hanya soal budaya. Ia berdampak pada keberanian, karakter, dan masa depan. Anak muda yang tak kenal sejarahnya akan rapuh menghadapi tantangan zaman. Ia akan mudah ikut arus, kehilangan pijakan, dan kehilangan alasan untuk berjuang.
Di sisi lain, kita juga mulai kehilangan daya saing dalam bidang sosial dan ekonomi. Tanpa nilai kemandirian, keberanian, dan kejujuran—yang dulu menjadi warisan indatu—maka Aceh hanya akan menjadi penonton dalam kompetisi global.
5. Apa yang Bisa Dilakukan? Jalan Menuju Kebangkitan
Harapan masih ada. Tapi ia tidak datang dari pemerintah saja. Ia datang dari gerakan kecil—kesadaran personal dan kolektif. Berikut beberapa langkah yang bisa kita mulai:
a. Revitalisasi Bahasa dan Sastra Aceh
Bahasa adalah jiwa budaya. Program literasi bahasa Aceh, Gayo, dan bahasa daerah lain harus digalakkan di sekolah, kampus, dan komunitas.
b. Mereformasi Kurikulum Daerah
Pendidikan harus menyentuh akar lokal. Sejarah Aceh, ulama besar, adat, dan nilai budaya harus menjadi bagian penting dari pelajaran.
c. Gerakan Keluarga Berbudaya
Orang tua adalah guru pertama. Kita butuh keluarga yang kembali bercerita tentang indatu, menanamkan adab, dan membangun ikatan batin dengan tanah kelahiran.
d. Pemuda sebagai Agen Kebangkitan
Pemuda Aceh harus bangkit, bukan sekadar jadi penikmat digital. Mereka harus menjadi jembatan antara warisan dan masa depan—melalui teknologi, media, dan gerakan sosial.
e. Pemerintah sebagai Penjaga Warisan
Kebijakan harus berorientasi pada pelestarian budaya, dari dana desa hingga pembangunan infrastruktur. Setiap proyek harus mempertimbangkan pelestarian nilai dan identitas lokal.
6. Penutup: Mari Pulang ke Aceh
Pulang ke Aceh bukan sekadar kembali ke tanah lahir. Tapi pulang secara makna, rasa, dan tanggung jawab. Pulang pada adat yang mengajarkan adab. Pulang pada bahasa yang penuh nilai. Pulang pada sejarah yang menuntun masa depan.
Bumi Aceh bukan milik generasi masa lalu. Ia adalah titipan bagi generasi mendatang. Kalau kita abai hari ini, maka kita bukan hanya kehilangan budaya, tapi mengkhianati darah dan doa yang telah menumbuhkan kita.
Mari kita jaga Aceh, bukan dengan romantisme, tapi dengan kerja, cinta, dan kesadaran.
Karena kalau bukan kita yang mencintai Aceh—siapa lagi?