Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh Di Dunia, dan Aceh pada Generasi Aceh

Jumat, 18 April 2025 | 18:10 WIB Last Updated 2025-04-18T11:26:10Z



Ada yang ganjil sekaligus menyayat dari perjalanan sejarah Aceh: di luar negeri, nama Aceh harum; namun di rumahnya sendiri, Aceh perlahan dilupakan oleh anak-anaknya.

Aceh dikenal dunia sebagai Serambi Mekkah, negeri ulama, pahlawan, dan martir. Di meja akademik para sejarawan dunia, Aceh selalu menjadi topik yang penuh pesona. Ketika membahas perlawanan terhadap kolonialisme, nama Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar menjadi simbol perlawanan perempuan dan keberanian nusantara. Di universitas-universitas Eropa dan Timur Tengah, karya ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri dikaji dalam disiplin tasawuf dan teologi Islam. Bahkan Snouck Hurgronje, orientalis terkenal, datang ke Aceh bukan untuk jalan-jalan, tapi untuk memahami kekuatan perlawanan rakyat dan ketinggian intelektual di sana.

Namun, seiring waktu, di bumi Aceh sendiri, kebesaran itu nyaris menguap. Generasi muda lebih mengenal budaya luar daripada sejarah sendiri. Warisan intelektual yang seharusnya dijaga dan diwarisi, justru dikalahkan oleh budaya instan dan tontonan media sosial. Perpustakaan sepi, tapi café dan tempat hiburan penuh. Nama-nama besar Aceh dijadikan nama jalan atau stadion, tapi substansi perjuangan dan nilai hidup mereka nyaris tidak lagi diajarkan secara mendalam.

Mengapa Aceh Melupakan Dirinya Sendiri?

Salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya orientasi pendidikan berbasis sejarah lokal. Kurikulum sekolah lebih banyak mengulang cerita nasional yang umum, tanpa menggali secara serius akar-akar lokalitas yang membentuk identitas Aceh. Dayah-dayah yang dulu menjadi benteng intelektual, kini sebagian terpinggirkan oleh sekolah-sekolah formal yang terlalu tersentralisasi dan kering nilai. Kita kehilangan narasi sendiri karena terlalu sibuk mengulang narasi orang lain.

Ironisnya, ketika dunia luar datang mempelajari Aceh, kita sendiri tidak tertarik menyelaminya. Peneliti asing berlomba-lomba datang ke Tanah Rencong untuk menggali manuskrip kuno, meneliti hukum adat, dan memahami sistem keislaman Aceh. Tapi anak muda Aceh hari ini lebih fasih berbicara tentang tren TikTok daripada tentang qanun atau hikayat. Tak jarang pula anak-anak Aceh merasa asing dengan adat sendiri, bingung membedakan antara warisan dan budaya impor.

Perlu Ada Kebangkitan Kolektif

Kita harus menyadari bahwa kehilangan jati diri adalah awal dari kehancuran suatu bangsa. Ketika sejarah dan budaya tidak lagi menjadi bagian dari cara kita berpikir dan bertindak, maka kita akan mudah dijajah, bukan oleh senjata, tetapi oleh pikiran dan gaya hidup.

Pemerintah daerah, akademisi, tokoh adat, ulama, hingga para influencer muda harus bersatu menyuarakan pentingnya merawat memori kolektif Aceh. Bukan dengan nostalgia kosong, tapi dengan aksi nyata: membuat museum hidup, menghidupkan kembali sastra Aceh di sekolah, menghadirkan dokumenter sejarah di media sosial, dan mengajak generasi muda untuk merasa bangga menjadi bagian dari tanah para syuhada.

Aceh tidak boleh hanya dikenang oleh dunia, tapi dilupakan oleh warganya sendiri. Kita tidak bisa berharap dunia terus memuja sejarah kita, sementara kita sendiri abai terhadapnya.

Menghidupkan Kembali yang Terlupakan

Aceh hari ini butuh lebih dari sekadar kebanggaan masa lalu. Ia butuh revitalisasi identitas: bagaimana sejarah, adat, dan agama membentuk satu kesatuan yang membimbing arah masa depan. Di sinilah pentingnya pembangunan yang tidak hanya bersifat fisik, tapi juga spiritual dan kultural. Jalan dan jembatan boleh dibangun, tapi jika nilai-nilai Aceh runtuh, maka itu bukan kemajuan—melainkan kemunduran yang dibungkus pembangunan.

Saatnya Aceh bangun. Bangun dari tidur panjang dan nostalgia yang membius. Dunia telah cukup memberi pengakuan. Kini tugas kita adalah membuat Aceh dikenang di dalam negeri, dan tidak lagi dilupakan oleh rakyatnya sendiri.