Oleh: Azhari
Ada satu ironi yang terus berputar seperti roda yang tak kunjung pecah di tanah Serambi Mekkah: Aceh dikenang dan dipelajari oleh dunia, namun dilupakan dan diabaikan oleh sebagian anak negerinya sendiri. Seperti rumah tua yang dihargai para arkeolog luar, tapi justru dirubuhkan oleh cucu-cucu dari si pemilik rumah.
Aceh, tanah para syuhada, ulama besar, dan perempuan perkasa seperti Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan Pocut Baren—pernah menjadi pusat peradaban Islam dan keilmuan di Asia Tenggara. Ulama-ulamanya berkirim surat dengan Mekah dan Istanbul. Sultan Iskandar Muda disegani oleh Kesultanan Utsmani dan dikagumi oleh pelaut-pelaut Eropa. Bahkan saat Perancis membahas dunia Islam, mereka menyebut Aceh sebagai ‘pusat perlawanan yang tak tunduk’.
Namun apa yang terjadi kini? Generasi muda Aceh lebih mengenal selebriti digital dibanding nama-nama besar bangsanya sendiri. Sejarah menjadi mata pelajaran membosankan, bukan narasi inspiratif. Perjuangan masa lalu dibingkai hanya sebagai seremonial tahunan, bukan semangat yang hidup dalam keseharian.
Kekaguman Dunia, Kealpaan Kita
Mari kita lihat realitas ini. Di universitas-universitas ternama seperti Leiden, Harvard, atau Al-Azhar, karya-karya ulama Aceh menjadi bahan kajian serius. Hamzah Fansuri dan Nuruddin ar-Raniri tidak hanya disebut, tapi dikaji mendalam sebagai pionir tasawuf Melayu dan penyusun ortodoksi Islam Asia Tenggara.
Begitu juga dalam kajian sejarah. Perlawanan Aceh terhadap kolonialisme dianggap sebagai yang paling lama dan paling tangguh dalam sejarah penjajahan Belanda. Nama-nama seperti Teuku Umar dan Panglima Polem masuk dalam jurnal-jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga akademik luar negeri.
Namun ketika kita menengok ke sekolah-sekolah di Aceh, pertanyaannya sederhana: apakah anak-anak Aceh hari ini tahu siapa Hamzah Fansuri? Apakah nama-nama itu hidup dalam benak mereka sebagaimana hidupnya tokoh-tokoh K-Pop atau pemain sepakbola Eropa?
Di sinilah letak keperihan itu: Aceh adalah permata yang disimpan orang luar dalam peti kaca, tapi diperlakukan sebagai batu biasa oleh pemilik rumahnya sendiri.
Kita Kehilangan Narasi, Bukan Hanya Memori
Yang hilang dari Aceh hari ini bukan hanya ingatan sejarah, tapi narasi besar tentang siapa kita dan ke mana kita harus melangkah. Di saat bangsa lain membangun fondasi kebangsaannya dari masa lalu, kita justru tercerabut dari akar.
Narasi Aceh bukan sekadar sejarah perlawanan. Ia juga tentang keilmuan, kebudayaan, etika, dan tatanan masyarakat yang pernah menjadi rujukan. Aceh pernah menjadi tempat penyimpanan naskah kuno, kitab-kitab hikmah, dan fatwa ulama yang ditulis dengan tinta perjuangan. Tapi sayang, sebagian manuskrip itu kini ada di perpustakaan Belanda atau Jerman, bukan di dayah atau museum Aceh.
Jika narasi ini terus diabaikan, maka tak mustahil suatu hari nanti anak cucu kita tak lagi tahu dari mana mereka berasal. Mereka akan hidup sebagai manusia tanpa akar, mudah diombang-ambingkan arus globalisasi yang tak punya belas kasihan.
Pendidikan dan Media yang Terlalu Seragam
Salah satu akar dari masalah ini adalah sistem pendidikan dan media yang terlalu tersentralisasi. Kurikulum pendidikan nasional nyaris tidak memberi ruang cukup untuk sejarah lokal yang bermakna. Generasi muda dicekoki cerita-cerita dari pusat, tapi minim sekali narasi daerah. Padahal dari Acehlah lahir banyak pelajaran tentang kemandirian, keadilan, dan keberanian.
Oknum Media lokal pun kadang ikut tenggelam dalam logika pasar, lebih tertarik pada sensasi dan viralitas ketimbang edukasi budaya. Tayangan-tayangan bernuansa sejarah dan kearifan lokal kalah bersaing dengan konten receh. Sementara pemerintah dan tokoh masyarakat sibuk dengan urusan politik dan proyek, bukan membangun peradaban dan pendidikan.
Saatnya Kebangkitan Kultural Aceh
Namun belum terlambat. Masih ada waktu untuk bangkit, jika kita semua—baik elite maupun rakyat—menyadari pentingnya merebut kembali narasi Aceh.
Pertama, Aceh perlu reformasi besar dalam sistem pendidikan berbasis lokalitas. Sejarah dan kebudayaan Aceh harus masuk secara substantif ke dalam kurikulum sekolah. Bukan sekadar hafalan nama, tapi penghayatan nilai.
Kedua, media dan konten kreator Aceh harus ambil bagian dalam menyebarkan narasi positif tentang masa lalu. Dokumenter, podcast, hingga film pendek bisa menjadi jembatan yang menyenangkan antara generasi muda dan warisan sejarahnya.
Ketiga, pemerintah Aceh harus memberi perhatian serius pada pelestarian warisan budaya, baik berupa manuskrip, bahasa, rumah adat, maupun cerita rakyat. Museum Aceh harus menjadi tempat hidup, bukan ruang sunyi yang hanya dikunjungi turis.
Keempat, kolaborasi antara dayah, kampus, dan komunitas budaya perlu diperkuat. Dayah sebagai benteng moral dan spiritual harus dirangkul dalam proses revitalisasi budaya. Tidak boleh ada sekat antara ilmu agama dan ilmu sejarah—karena dalam Islam, masa lalu adalah bagian dari pelajaran hidup.
Aceh Tidak Boleh Hanya Jadi Romantisme Masa Lalu
Aceh bukan dongeng untuk ditangisi. Ia adalah kenyataan sejarah yang harus dikembangkan sebagai modal peradaban masa depan. Kita tidak ingin Aceh hanya jadi pujian di jurnal luar negeri, tapi mati di hati rakyatnya sendiri.
Membangun jalan dan gedung memang penting. Tapi membangun jiwa dan kebanggaan kolektif jauh lebih penting. Sebab negeri yang besar adalah negeri yang mengenal dirinya sendiri—dan Aceh layak untuk itu.
Jangan biarkan dunia terus mengenang kita, sementara kita sendiri melupakan siapa kita. Bangkitlah, Aceh!