Politik, di negeri ini, sering kali menjadi ladang pertempuran. Bukan hanya ide dan gagasan yang saling berbenturan, tetapi juga relasi personal, persahabatan, bahkan tali darah. Dalam dunia di mana perbedaan pilihan dianggap sebagai bentuk pengkhianatan, kita nyaris lupa bahwa sejatinya, politik seharusnya tak membunuh kemanusiaan.
Kita jarang mendengar kisah tentang dua orang sahabat yang tetap saling menguatkan meski memilih jalan berbeda dalam politik. Yang lebih banyak diberitakan adalah pecah kongsi, saling tuduh, dan perang narasi. Padahal, politik tak seharusnya merusak. Ia hanya jalan—bukan tujuan akhir dari nilai-nilai luhur seperti persahabatan, loyalitas, dan integritas.
Dalam konteks ini, kutipan yang menjadi fondasi tulisan ini menjadi sangat relevan:
“Dua serangkai yang terjadi persimpangan jalan dalam politik. Namun persahabatan dan pertemanan tetap terjaga, bahkan saling menguatkan.”
Kutipan ini bukan sekadar kalimat manis, melainkan cermin kedewasaan. Kedewasaan dalam menerima perbedaan. Kedewasaan dalam menahan ego. Dan yang lebih penting, kedewasaan untuk tidak menjadikan kekuasaan sebagai alasan melupakan sejarah dan ikatan emosional yang pernah dibangun bersama.
[Bagian I: Politik sebagai Persimpangan Jalan]
Politik tidaklah statis. Ia adalah medan dinamis yang bergerak bersama waktu, realitas, dan kepentingan. Hari ini kita berdiri di sisi yang sama, namun esok kita bisa berdiri pada posisi berlawanan. Inilah keniscayaan politik.
Dalam banyak pengalaman politik Indonesia, kita melihat tokoh-tokoh besar yang dulu sehaluan, lalu berseberangan. Soekarno dan Hatta, Megawati dan Gus Dur, Jokowi dan Prabowo—semuanya pernah mengalami persimpangan jalan. Namun sejarah akan mencatat siapa yang tetap menjunjung etika meski berada di pihak yang berbeda.
Persimpangan dalam politik bisa terjadi karena banyak hal: perbedaan strategi, perbedaan visi, perubahan partai, atau bahkan godaan kekuasaan. Tetapi yang membedakan antara mereka yang dewasa dan mereka yang terjebak dalam ambisi adalah bagaimana mereka menyikapi perbedaan itu.
Apakah mereka saling menghormati? Atau saling menghancurkan?
[Bagian II: Ketika Loyalitas Ujian Terbesar]
Loyalitas dalam politik adalah ujian paling sulit. Bukan karena mempertahankan loyalitas itu mudah, tetapi karena seringkali kita dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kesetiaan. Namun politik yang sehat tak menuntut kita untuk mengorbankan prinsip demi sekutu, dan tidak pula membenci sahabat hanya karena ia memilih jalan lain.
Dalam konteks dua serangkai, loyalitas tak diukur dari kesamaan arah, tetapi dari bagaimana satu sama lain tetap menjunjung respek. Seorang sahabat sejati tidak akan menjatuhkan nama temannya meski berbeda partai. Ia akan tetap mendoakan dari kejauhan, sekalipun tidak lagi berjalan di barisan yang sama.
Inilah makna loyalitas yang lebih tinggi dari sekadar kepentingan: loyalitas kepada nilai, kepada sejarah persahabatan, kepada kemanusiaan.
[Bagian III: Figur dan Kisah Dua Serangkai yang Bisa Jadi Teladan]
Di Aceh, di Indonesia, bahkan dunia, banyak kisah dua serangkai yang tetap saling menghormati meski politik memisahkan jalan mereka.
-
Soekarno – Hatta:
Pendiri bangsa ini adalah contoh klasik. Setelah proklamasi, mereka berselisih paham soal konsep negara. Namun dalam sejarah, keduanya tetap dikenang sebagai dua pilar utama republik. Bahkan ketika hubungan mereka renggang, tak ada catatan bahwa mereka saling menjatuhkan secara pribadi. -
Jokowi – Prabowo:
Dua rival yang pernah bertarung sengit dalam Pilpres 2014 dan 2019. Namun sejarah mencatat mereka memilih untuk duduk bersama di kabinet. Apapun motif politiknya, publik melihat bahwa permusuhan bisa berubah menjadi kerja sama. -
Tokoh Lokal:
Di tingkat lokal, banyak sahabat di organisasi, pesantren, atau gerakan sosial yang kemudian berlabuh di partai berbeda. Namun tetap saling menghormati, bahkan saling bantu dalam urusan pribadi. Mereka mungkin tidak setuju dalam strategi, tapi sepakat bahwa pertemanan jauh lebih bernilai daripada kekuasaan.
[Bagian IV: Politik Etika, Bukan Politik Hasutan]
Kita hidup di era pasca-kebenaran (post-truth), di mana narasi lebih berkuasa daripada data, dan emosi lebih laku daripada fakta. Dalam kondisi ini, banyak orang memelihara kebencian untuk meraih dukungan. Sahabat yang memilih berbeda langsung dianggap musuh. Padahal, itulah tanda kekalahan akhlak.
Politik seharusnya beradab. Seperti pepatah Aceh: “Jak le beurijang, tapi han tapajoh le watee meupeloi.” (Boleh berjalan sendiri, tapi jangan lupa saat pernah seiring sejalan.)
Politik yang beretika tidak menjadikan persahabatan sebagai korban. Justru ia melahirkan pemimpin yang bijak, tahu kapan harus tegas, dan tahu kapan harus merangkul. Karena bangsa ini dibangun bukan hanya oleh kemenangan, tapi juga oleh ketulusan para pemimpinnya.
[Bagian V: Menguatkan di Tengah Perbedaan]
Menjadi sahabat sejati adalah ketika kita tetap bisa mendoakan yang terbaik untuk teman kita, meskipun kita tidak lagi sepanggung.
Dua serangkai yang saling menguatkan meski di jalan berbeda adalah simbol bahwa nilai-nilai kemanusiaan masih hidup dalam dunia politik yang keras. Mereka adalah penyeimbang dalam riuhnya pertarungan kekuasaan. Mereka adalah pengingat bahwa jabatan itu sementara, tapi hubungan batin itu abadi.
Mereka tidak mengorbankan persahabatan demi kursi. Mereka tidak merusak ingatan kolektif hanya demi elektabilitas. Dan mereka tidak menukar persaudaraan dengan strategi politik murahan.
[Bagian VI: Refleksi untuk Generasi Muda dan Elite Politik]
Generasi muda yang mulai masuk ke dunia politik harus belajar dari kisah dua serangkai. Bahwa politik bukan tentang siapa yang menang, tapi bagaimana menang dengan tetap menjaga integritas. Bahwa perbedaan tidak harus melahirkan permusuhan. Dan bahwa musuh sesungguhnya bukan orang yang berbeda pandangan, tetapi mereka yang merusak nilai demi ambisi.
Bagi para elite, tulisan ini adalah cermin. Sudahkah Anda menjunjung persahabatan di atas intrik? Sudahkah Anda memelihara hubungan baik dengan orang-orang yang dulu berjalan bersama? Ataukah Anda meninggalkan semuanya demi satu jabatan?
[Penutup: Jalan Berbeda, Tapi Tujuan Sama]
Pada akhirnya, kita bisa berada di jalan politik yang berbeda, namun kita tetap punya tujuan sama: kebaikan bangsa, keadilan rakyat, dan masa depan anak cucu kita.
Jangan biarkan politik mematikan hati nurani. Jangan biarkan perbedaan pandangan merusak persahabatan. Dan jangan biarkan kekuasaan menjadikan kita lupa akan orang-orang yang dulu setia berjalan bersama.
Sebab ketika semuanya selesai, yang tersisa bukanlah kursi atau jabatan, melainkan nama baik dan hubungan baik. Dan dua serangkai yang pernah berpisah jalan, tapi tetap saling menguatkan—merekalah yang akan dikenang sebagai negarawan sejati.
Kalau kamu ingin versi ini dalam format siap cetak untuk media atau ditambahkan tokoh spesifik dari Aceh atau lokal tertentu, beri tahu saja—akan saya lengkapi.