Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Emas Mahal, Marwah Diri Lebih Mahal: Jangan Bercerai, Sayangi Anak

Minggu, 13 April 2025 | 00:18 WIB Last Updated 2025-04-12T17:19:49Z

Emas Mahal, Marwah Diri Lebih Mahal: Jangan Bercerai, Sayangi Anak

Oleh: Azhari 
(Pemerhati Hukum Keluarga dan Sosial Islam)

Tahun 2025 mencatat rekor lonjakan harga emas. Sebagai simbol kekayaan dan kemapanan, emas kini menjadi barang paling dicari, baik untuk investasi maupun mahar pernikahan. Namun ironisnya, ketika harga emas semakin tinggi, justru nilai-nilai keutuhan keluarga makin rapuh. Tingginya angka perceraian dan banyaknya anak korban perceraian menunjukkan bahwa yang mahal hari ini bukan hanya emas, tapi juga marwah diri, tanggung jawab, dan kasih sayang.

Sebagai bangsa yang menjunjung nilai-nilai hukum, budaya, dan agama, fenomena ini harus menjadi refleksi bersama.


Pernikahan: Ijab Qabul Bukan Sekadar Seremoni

Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Namun kenyataannya, banyak pasangan muda yang memasuki pernikahan tanpa kedewasaan batin dan mental. Mahar dinilai dari jumlah gram emas, bukan kesiapan membina rumah tangga. Akibatnya, ketika ekonomi sulit atau konflik datang, pernikahan mudah hancur, dan perceraian dijadikan pilihan pertama—bukan usaha terakhir.


Perceraian dan Dampak Hukum terhadap Anak

Perceraian memang dibolehkan dalam Islam dan diatur dalam hukum negara, namun bukan tanpa konsekuensi. Pasal 39 UU No. 1/1974 menyebut bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116, perceraian hanya dapat dilakukan karena alasan kuat, seperti perselisihan terus-menerus, kekerasan, atau meninggalkan pasangan.

Namun kini, alasan perceraian semakin remeh: tak cocok, tak romantis, ekonomi sulit, atau lebih parah, hanya karena terpikat pada pihak ketiga.

Yang menjadi korban utama adalah anak-anak. Mereka kehilangan hak pengasuhan yang utuh. Menurut Pasal 41 UU Perkawinan, akibat perceraian, kedua orang tua tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka. Tetapi di banyak kasus, anak tumbuh dalam luka psikologis yang dalam.


Marwah Diri: Lebih Berharga dari Emas

Kita hidup dalam budaya yang menjunjung marwah atau kehormatan diri. Terlalu mudah menyerah dalam pernikahan adalah bentuk hilangnya martabat pribadi. Bukan karena mempertahankan pernikahan berarti menolak hak cerai, tapi karena marwah diri menuntut kita untuk dewasa menyelesaikan masalah, bukan lari darinya.

Harga emas mungkin bisa naik turun. Tapi harga diri sebagai suami atau istri—sebagai orang tua—tak ternilai dan tak tergantikan. Jangan jual marwahmu demi gengsi atau nafsu sesaat.


Solusi: Perbaiki Komunikasi, Prioritaskan Anak

Setiap rumah tangga pasti ada masalah. Namun yang membedakan rumah tangga yang kuat dan rapuh adalah cara menghadapinya. Jangan jadikan perceraian sebagai pintu keluar utama. Lakukan mediasi. Temui konselor. Bicarakan secara jujur. Karena dalam Islam, talaq adalah perkara halal yang paling dibenci Allah.

Ingatlah anak. Mereka tidak meminta dilahirkan dalam keluarga yang terpecah. Mereka hanya ingin rumah yang tenang dan kasih sayang utuh. Jika bukan demi cinta, maka pertahankanlah rumah tangga demi anak-anakmu.


Penutup: Jangan Gadaikan Masa Depan demi Emosi

Emas mahal, tapi marwah diri lebih mahal. Jangan mudah menyerah. Jangan jadikan perceraian sebagai gaya hidup. Jaga pernikahanmu, karena di dalamnya ada nilai-nilai hukum, moral, dan cinta kasih yang akan diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Jika memang sudah tak bisa dipertahankan, perceraian harus dilakukan dengan tanggung jawab hukum dan moral. Tapi sebelum itu, berjuanglah lebih dulu. Karena menceraikan pasangan itu mudah, tapi menyembuhkan luka hati anak dan harga diri yang rusak, butuh waktu seumur hidup.


Catatan Redaksi: Artikel ini didasarkan pada analisis hukum UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam. Untuk pasangan yang menghadapi konflik rumah tangga, dianjurkan untuk berkonsultasi ke Lembaga Konseling Keluarga, Pengadilan Agama, atau tokoh agama yang kompeten.