Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Etika Buzzer dan Dampaknya bagi Generasi dalam Fenomena Hujat di Media Sosial

Senin, 07 April 2025 | 01:09 WIB Last Updated 2025-04-06T18:09:32Z





Oleh: Azhari 

Di tengah kemajuan digital dan ledakan informasi, media sosial telah menjadi ruang utama bagi interaksi publik. Namun, yang semula menjadi arena ekspresi, kini berubah menjadi ladang hujatan. Salah satu penyebab utamanya adalah munculnya fenomena buzzer—akun-akun yang dikendalikan untuk menggiring opini, menyerang lawan, atau membentuk citra tertentu. Di sinilah krisis etika bermula.

Buzzer (dalam konteks negatif) adalah individu atau kelompok yang sengaja dibayar untuk menyebarkan narasi tertentu, baik berupa pujian berlebihan maupun hujatan terstruktur. Mereka tak segan menyebar hoaks, menyerang karakter pribadi, hingga memecah belah opini publik. Yang disasar bukan hanya tokoh publik, tetapi juga aktivis, akademisi, bahkan masyarakat biasa yang berbeda pendapat.

Persoalannya bukan hanya soal siapa yang menjadi buzzer, tapi bagaimana buzzer merusak tatanan etika komunikasi digital. Generasi muda yang tumbuh dalam era digital, menyaksikan bagaimana komentar kasar, doxing, dan fitnah menjadi “hal biasa” di linimasa. Batas antara kritik dan kebencian menjadi kabur. Ruang digital yang seharusnya mendorong literasi dan dialog, justru dijejali ujaran sarkasme, pemutarbalikan fakta, dan perang tagar.

Lebih dari itu, generasi muda ikut menyerap pola komunikasi ini. Banyak yang tanpa sadar meniru gaya sarkastik, menyerang individu bukan gagasan, bahkan ikut membenarkan narasi yang belum jelas kebenarannya. Dalam jangka panjang, ini bukan hanya persoalan moralitas, tapi juga soal kualitas demokrasi kita.

Media sosial yang seharusnya menjadi ruang belajar justru menjadi panggung caci maki. Ketika buzzer lebih dipercaya daripada guru, dosen, atau ilmuwan, maka kita sedang menciptakan generasi yang berpihak pada suara paling keras, bukan pada argumen paling benar.

Tentu tidak semua buzzer buruk. Ada yang bekerja secara etis, menyebarkan informasi kampanye, edukasi publik, atau promosi produk dengan jujur. Tapi dalam realitas politik dan sosial kita, yang mendominasi justru yang “berbayar untuk menyerang”. Di sinilah pentingnya etika buzzer: transparansi, kejujuran sumber informasi, dan penghargaan terhadap perbedaan pendapat.

Solusinya bukan hanya pada regulasi. Pemerintah dan platform digital memang harus menertibkan akun-akun penyebar hoaks dan ujaran kebencian. Tapi yang lebih mendesak adalah pendidikan literasi digital dan etika bermedia sosial sejak dini. Sekolah, kampus, dan komunitas harus menjadi ruang pembelajaran tentang bagaimana menggunakan media sosial secara sehat dan bertanggung jawab.

Jika tidak, kita akan terus menyaksikan generasi yang tumbuh dengan pola pikir instan, agresif dalam berkomentar, dan apatis terhadap nilai-nilai dialog dan kebenaran. Pada akhirnya, kerusakan akibat buzzer bukan hanya pada ruang publik digital, tapi pada watak generasi masa depan.


Tentang Penulis:
Penulis adalah pengamat media dan aktif mengadvokasi literasi digital bagi generasi muda.