Tragedi kemanusiaan di Gaza bukan hanya tentang perang dan kehancuran. Ia adalah cermin kegagalan global, terutama kegagalan sistem hukum internasional dalam menjalankan mandatnya. Dunia internasional seolah telah sepakat untuk hanya menangisi, tapi tidak bergerak. Mengutuk, tapi tak pernah menindak.
Dalam sejarah modern, sedikit wilayah yang mengalami derita berkepanjangan seperti Gaza. Di sana, hukum internasional diuji berkali-kali—dan nyaris selalu gagal. Kegagalan ini bukan karena kekosongan norma hukum, melainkan karena lemahnya keberanian politik dan dominannya kepentingan negara-negara besar.
Hukum Internasional dan Janji yang Tak Ditepati
Sejak usainya Perang Dunia II, dunia sepakat membangun tatanan hukum internasional demi mencegah kekejaman serupa terulang. Konvensi Jenewa tahun 1949 dirancang untuk melindungi warga sipil dalam konflik. Piagam PBB ditegakkan dengan idealisme bahwa perdamaian, keadilan, dan hak asasi manusia adalah hak setiap bangsa, tanpa kecuali.
Namun dalam konteks Gaza, hukum-hukum ini tampak hanya menjadi teks tanpa jiwa. Pembunuhan massal terhadap warga sipil, penghancuran fasilitas kesehatan, pemadaman listrik dan air bersih, serta blokade total terhadap bantuan—semua ini adalah pelanggaran nyata terhadap hukum humaniter internasional.
Anehnya, dunia melihat. Dunia mencatat. Tapi dunia tidak bertindak.
Kegagalan Dewan Keamanan PBB
Dewan Keamanan PBB seharusnya menjadi lembaga paling berwibawa dalam menyelesaikan konflik internasional. Namun peran itu justru kerap lumpuh oleh hak veto dari lima negara adidaya. Dalam kasus Gaza, negara-negara seperti Amerika Serikat secara konsisten menggunakan vetonya untuk menghalangi resolusi yang mengutuk tindakan brutal Israel.
Dengan demikian, sistem yang semula dirancang untuk menjamin keadilan global justru menjadi alat pelindung impunitas. Dunia menonton, hukum dibungkam, dan Gaza terus dihancurkan.
Mahkamah Pidana Internasional dan Langkah yang Terlambat
Mahkamah Pidana Internasional (ICC) memiliki mandat untuk menyelidiki kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan genosida. Namun dalam kasus Gaza, langkah-langkah ICC terlalu lamban dan penuh tekanan politik. Hingga kini, belum ada tindakan tegas yang memberikan efek jera terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan di Palestina.
Proses hukum berjalan sangat birokratis, sementara setiap hari, nyawa manusia melayang. Gaza tak punya waktu untuk menunggu proses administratif yang panjang dan tak pasti. Mereka butuh tindakan nyata—bukan janji kosong dari forum-forum internasional.
Misi Kemanusiaan yang Terhambat dan Diserang
Dalam konflik bersenjata, hukum internasional memberikan jaminan perlindungan terhadap misi kemanusiaan. Jalur evakuasi medis, distribusi pangan, dan akses air bersih merupakan bagian dari prinsip dasar humanitarian law. Namun, berulang kali, konvoi bantuan kemanusiaan ke Gaza dihambat, bahkan ditembaki.
Organisasi kemanusiaan seperti UNRWA, WHO, dan LSM internasional menghadapi tantangan luar biasa untuk menyalurkan bantuan. Sementara anak-anak Gaza tidur dalam kelaparan, dunia memperdebatkan prosedur izin pengiriman bantuan.
Gaza: Korban Peradaban yang Memihak
Yang menyedihkan bukan hanya kehancuran fisik di Gaza, tapi juga kehancuran moralitas global. Dunia terlihat lebih reaktif ketika korban berkulit putih atau berasal dari negara kaya. Sementara Palestina, yang telah menderita selama puluhan tahun, tetap terpinggirkan dalam simpati dan perhatian dunia internasional.
Apakah nilai manusia bergantung pada paspor dan warna kulit? Apakah keadilan hanya diperuntukkan bagi mereka yang dianggap "layak" oleh kekuatan Barat?
Pertanyaan-pertanyaan ini semakin menegaskan bahwa sistem hukum internasional harus dikaji ulang. Ia harus direformasi agar tak lagi tunduk pada veto kekuasaan, melainkan patuh pada nilai-nilai kemanusiaan universal.
Peran Negara-Negara Muslim dan Global Selatan
Negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, memiliki tanggung jawab moral dan diplomatik untuk terus mendorong penyelesaian yang adil di Palestina. Bukan hanya dalam bentuk kecaman, tapi juga tindakan nyata—seperti penguatan diplomasi di Mahkamah Internasional, pendanaan misi kemanusiaan, dan dukungan terhadap gerakan hukum internasional yang pro-Palestina.
Global Selatan harus bersatu, membentuk blok moral yang menekan sistem internasional agar tidak terus menjadi alat kekuasaan sepihak. Palestina bukan hanya isu regional. Ia adalah cermin nurani umat manusia.
Penutup: Gaza Memanggil Keadilan Dunia
Gaza bukan hanya konflik politik. Ia adalah luka terbuka peradaban dunia. Ketika dunia gagal melindungi anak-anak, gagal menegakkan hukum, dan gagal mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan—maka yang runtuh bukan hanya bangunan di Gaza, tapi juga legitimasi hukum internasional itu sendiri.
Sudah saatnya dunia berhenti pura-pura buta. Sudah saatnya hukum tidak lagi bungkam. Dan sudah saatnya Gaza mendapat keadilan yang bukan lagi tertulis di atas kertas, tapi hadir nyata di tanah yang berkali-kali dirampas harapannya.
Penulis Oleh: Azhari