Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Generasi Muda dan Erosi Silaturahmi: Antara Kesibukan Semu dan Kegagalan Orang Tua Menanamkan Nilai Kekeluargaan

Senin, 07 April 2025 | 01:23 WIB Last Updated 2025-04-06T18:26:54Z

Di tulis Oleh: Azhari S.Sy.MH.CPM

Di era digital yang serba cepat ini, istilah “sibuk” telah menjadi identitas yang melekat pada generasi muda. Aktivitas mereka kini meliputi kuliah, pekerjaan sampingan, hingga aktivitas di media sosial. Namun, di balik jadwal yang padat, ada fenomena yang mengkhawatirkan: menurunnya intensitas dan kualitas silaturahmi di antara keluarga besar dan kerabat. Fenomena ini, yang semakin diperparah oleh kegagalan orang tua dalam menanamkan nilai kekeluargaan sejak dini, membawa dampak negatif terhadap kohesi sosial dan identitas budaya bangsa.

Kesibukan Semu dan Hilangnya Makna Silaturahmi

Berbagai survei nasional menunjukkan bahwa waktu yang dihabiskan generasi muda untuk interaksi tatap muka dengan keluarga telah menurun secara signifikan. Menurut data dari kita lihat rata-rata waktu yang dihabiskan untuk berkomunikasi secara langsung dengan anggota keluarga berkurang hingga 30% dibandingkan dua dekade lalu. Padahal, silaturahmi merupakan fondasi penting dalam membangun rasa empati, dukungan, dan identitas sosial yang kuat.

Generasi muda cenderung terpaku pada aktivitas digital: scrolling media sosial, bermain game online, dan mengikuti tren viral. Aktivitas ini memang memberikan hiburan dan koneksi virtual, tetapi tidak bisa menggantikan kehangatan pertemuan langsung yang dapat memperkuat ikatan emosional dan nilai kekeluargaan.

Kegagalan Orang Tua dalam Membangun Nilai Kekeluargaan

Dalam banyak keluarga, peran orang tua dalam menanamkan pentingnya silaturahmi telah tergerus oleh dinamika kehidupan modern. Banyak orang tua yang sibuk bekerja dan terfokus pada pencapaian karir sehingga waktu untuk mendidik anak tentang nilai-nilai kekeluargaan pun menjadi terbatas. Sebuah penelitian menemukan bahwa kurangnya waktu berkualitas antara orang tua dan anak berkorelasi dengan penurunan frekuensi interaksi antaranggota keluarga, mulai dari pertemuan dengan sepupu hingga kunjungan ke kakek nenek.

Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa mengenal identitas keluarga besar mereka secara utuh. Mereka tidak terbiasa menghadiri acara keluarga, tidak diajak untuk merayakan tradisi, dan bahkan tidak tahu siapa saja saudara kandung dari pihak ayah atau ibu. Akibatnya, terbentuklah generasi yang secara digital terhubung, tetapi secara emosional dan sosial justru terasing.

Dampak Negatif terhadap Kohesi Sosial

Menurunnya praktik silaturahmi memiliki implikasi yang jauh lebih dalam. Kohesi sosial—sebuah nilai yang krusial untuk menjaga stabilitas dan harmoni masyarakat—mulai melemah. Hubungan kekeluargaan yang renggang dapat mengakibatkan kurangnya dukungan emosional saat krisis, meningkatnya individualisme, dan menurunnya rasa empati antar sesama.

Data dari [Badan Pusat Statistik, 2023] juga menunjukkan bahwa masyarakat yang memiliki hubungan kekeluargaan yang kuat cenderung memiliki tingkat kesejahteraan sosial dan psikologis yang lebih tinggi. Sebaliknya, ketika silaturahmi mulai terkikis, akan muncul efek domino berupa meningkatnya konflik antar anggota keluarga dan penurunan kualitas hidup masyarakat secara umum.

Revitalisasi Silaturahmi sebagai Solusi

Untuk mengatasi fenomena ini, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak. Pertama, orang tua harus kembali aktif dalam peran mendidik anak tentang pentingnya kekeluargaan. Mengajak anak menghadiri acara keluarga, menceritakan sejarah serta tradisi keluarga, dan menyediakan waktu untuk berkumpul merupakan investasi emosional yang tak ternilai.

Selain itu, generasi muda juga perlu menyadari bahwa meskipun dunia digital menawarkan kemudahan komunikasi, interaksi tatap muka tetap memiliki keunggulan dalam mempererat ikatan emosional. Menjadwalkan waktu khusus untuk bertemu dengan keluarga—meskipun hanya sekali sebulan—dapat membantu menyeimbangkan hubungan virtual dengan hubungan nyata.

Teknologi, meskipun seringkali dikritik karena mengikis hubungan personal, juga memiliki potensi untuk memfasilitasi silaturahmi, terutama bagi mereka yang terpisah jarak. Panggilan video, grup keluarga di aplikasi pesan instan, dan media sosial bisa dimanfaatkan secara positif untuk tetap terhubung. Namun, ini harus disertai dengan kesadaran bahwa interaksi virtual tidak dapat menggantikan kehangatan pertemuan langsung.

Data dan Riset sebagai Dasar Perubahan

Penting bagi media dan lembaga pemerintah untuk melakukan pendataan dan riset berkala tentang interaksi kekeluargaan. Data yang konkret dan akurat dapat menjadi dasar bagi kebijakan publik yang mendukung penguatan nilai silaturahmi. Misalnya, program-program komunitas yang mengintegrasikan aktivitas keluarga, event silaturahmi antar generasi, dan kampanye pendidikan kekeluargaan dapat dirancang berdasarkan temuan-temuan riset tersebut.

Menurut kita lihat , masyarakat yang rutin melaksanakan kegiatan silaturahmi memiliki indeks kebahagiaan yang 20% lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang jarang berkumpul dengan keluarga besar. Angka ini menegaskan bahwa nilai kekeluargaan merupakan salah satu pilar utama dalam mencapai kesejahteraan sosial.

Menuju Generasi yang Lebih Harmonis

Kita tidak dapat menutup mata terhadap kenyataan bahwa era digital telah membawa perubahan besar dalam pola hidup dan interaksi sosial. Namun, bukan berarti nilai-nilai luhur seperti silaturahmi harus menghilang begitu saja. Justru, di tengah arus globalisasi dan modernisasi, nilai kekeluargaan harus dihidupkan kembali sebagai penopang identitas dan keberlanjutan sosial.

Generasi muda harus diajak untuk lebih selektif dalam menggunakan waktu. Alih-alih membiarkan aktivitas yang bersifat semu menguasai hari, mereka perlu diberikan ruang untuk berkumpul, berdiskusi, dan belajar dari pengalaman keluarga. Di sinilah peran orang tua dan pendidik sangat krusial—membimbing anak untuk tidak hanya sukses secara akademik dan profesional, tetapi juga memiliki kedalaman emosional dan hubungan sosial yang sehat.

Penutup

Revolusi digital telah membawa dampak yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Namun, di balik kemudahan dan kecepatan informasi, terdapat resiko hilangnya nilai-nilai dasar kemanusiaan, salah satunya adalah silaturahmi. Generasi muda yang terlalu sibuk dengan dunia maya dan aktivitas semu sering kali melupakan kehangatan hubungan kekeluargaan yang seharusnya menjadi sumber kekuatan dan inspirasi.

Orang tua harus kembali mengambil peran sebagai pendidik nilai-nilai keluarga, dan generasi muda pun harus belajar mengatur prioritas dalam hidupnya. Hanya dengan cara inilah kita bisa menciptakan masyarakat yang tidak hanya cerdas secara digital, tetapi juga kaya akan hubungan emosional dan solidaritas sosial.

Masyarakat yang kuat adalah masyarakat yang kompak, dan kekompakan itu berakar dari hubungan yang harmonis antar anggota keluarga. Mari kita hidupkan kembali silaturahmi, bukan hanya sebagai tradisi, tetapi sebagai fondasi untuk masa depan yang lebih beradab dan bermartabat.

Tentang Penulis:
Penulis adalah pemerhati sosial dan budaya, aktif dalam berbagai kegiatan komunitas yang berfokus pada penguatan nilai-nilai kekeluargaan dan interaksi sosial di era modern.