Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hancurnya Moral Sahabat dan Etika dalam Pergaulan Demi Kepentingan Pribadi

Sabtu, 12 April 2025 | 19:37 WIB Last Updated 2025-04-12T12:37:35Z



Hancurnya Moral Sahabat dan Etika dalam Pergaulan Demi Kepentingan Pribadi

Oleh: Azhari 

Dahulu, kita menjunjung tinggi arti sahabat. Bukan hanya sebagai teman bicara, tetapi sebagai tempat berbagi luka, bahu saat lelah, dan cermin saat kita mulai goyah. Tapi hari ini, kata "sahabat" tak jarang menjadi ilusi. Ia berubah menjadi topeng manipulasi, alat tukar, dan bahkan senjata tikam dari belakang, semua demi satu hal: kepentingan pribadi.

Pergaulan yang Kehilangan Jiwa

Di era digital dan politik transaksional, pergaulan tak lagi dibangun di atas rasa percaya dan nilai. Yang berlaku adalah kalkulasi untung rugi. Kata manis bukan lagi tanda ketulusan, tapi strategi membujuk. Pelukan tak lagi penguat, tapi kamuflase penghianat.

Banyak yang rela mengorbankan moral dan etika hanya demi naik jabatan, memenangkan proyek, atau mencuri perhatian publik. Bahkan dalam lingkaran persahabatan, tidak sedikit yang saling menjatuhkan, menyebar fitnah, atau membocorkan rahasia hanya karena cemburu, ambisi, atau sekadar ingin menjadi yang paling didengar.

Apa ini masih bisa disebut pergaulan? Atau sebenarnya kita hanya hidup dalam simulasi sosial, di mana semua orang memainkan peran yang tidak sepenuhnya jujur?

Etika Digeser oleh Kepentingan

Kita hidup di masa ketika etika ditukar dengan retorika, dan moral dikorbankan untuk pencitraan. Dulu, kesetiaan dalam pertemanan adalah nilai luhur. Hari ini, kesetiaan dianggap beban kalau tak memberi keuntungan langsung.

Tak sedikit yang berpura-pura mendukung, tapi di belakang mencela. Ada pula yang datang dengan senyum, tapi hatinya penuh siasat. Dan lebih ironis lagi, mereka bisa berlindung di balik status “sahabat”, padahal niatnya adalah menguras, bukan membersamai.

Bukankah ini bentuk keruntuhan moral yang lebih mengerikan dari bencana alam? Karena ini adalah bencana yang tak terlihat, tapi menghancurkan dari dalam.

Sahabat Sejati: Masih Adakah?

Di tengah gelombang kemunafikan sosial ini, kita patut bertanya: masih adakah sahabat sejati? Masih adakah orang yang rela berdiri di samping kita saat tak ada sorotan kamera? Masih adakah yang menegur kita dengan jujur, bukan menjilat untuk sekadar bertahan dalam lingkaran?

Jawabannya: masih ada. Tapi mungkin jumlahnya makin sedikit. Sahabat sejati bukan yang hadir saat kita sukses, melainkan yang tetap tinggal saat kita gagal. Mereka bukan yang memuji setiap keputusan kita, tapi yang cukup berani mengatakan, “Kau salah, dan aku di sini untuk mengingatkan.”

Dalam dunia yang makin egois, kita perlu membangun ulang makna sahabat: bukan sebagai alat, tapi sebagai amanah; bukan sebagai pelengkap pencitraan, tapi sebagai penguat kebaikan.

Penutup: Jangan Gadai Etika Demi Dunia

Jika ada yang tega mengkhianati sahabat demi jabatan, menyakiti teman demi proyek, atau menjual etika demi like dan komentar, maka sesungguhnya ia telah kehilangan kehormatan dirinya sendiri. Karena pergaulan tanpa moral adalah arena kebohongan, dan persahabatan tanpa etika hanyalah akting yang menunggu akhir tragis.

Kita butuh pergaulan yang jujur, sahabat yang tulus, dan ruang sosial yang mengutamakan nurani, bukan sekadar keuntungan.

Ingatlah, dunia ini fana, tapi luka karena dikhianati sahabat bisa abadi. Maka janganlah engkau menjadi bagian dari orang yang menanam tawa, tapi menuai tangis orang lain.