Ibadah Harus Dipaksakan: Jalan Terjal yang Mengantarkan pada Ketenangan
Ada satu kalimat yang terdengar bijak tapi sering disalahpahami: “Jangan paksakan ibadah, biarkan datang dari hati.” Dalam sekilas pandangan, pernyataan itu terdengar manusiawi, bahkan simpatik. Tapi jika direnungkan dalam-dalam, justru di situlah jebakan halus yang mengaburkan makna sejati dari ibadah. Sebab ibadah, dalam hakikatnya, bukan soal keinginan, melainkan kewajiban. Dan kewajiban, dalam banyak hal, seringkali harus dimulai dari keterpaksaan.
Manusia pada dasarnya mencintai kenyamanan. Ia cenderung menunda hal-hal yang berat, terutama yang tidak mendatangkan kepuasan instan. Dalam konteks ini, ibadah seperti shalat, puasa, membaca Al-Qur’an, atau bahkan bangun malam, bukanlah sesuatu yang secara naluriah disukai oleh tubuh dan hawa nafsu. Maka sangat wajar jika awalnya terasa berat. Namun justru di situlah peran utama akal dan ruh: memaksa diri untuk menaati yang benar, meski jiwa belum siap sepenuhnya.
Keterpaksaan yang Melahirkan Kebiasaan
Banyak orang hebat di dunia ini memulai kebiasaannya dengan paksaan. Seorang atlet tidak akan pernah bisa berlari maraton jika ia hanya berlari saat ia merasa ingin. Seorang ilmuwan tidak akan pernah menguasai ilmunya jika ia hanya belajar ketika mood baik. Disiplin lahir dari proses panjang pemaksaan diri. Dan dalam pemaksaan yang konsisten itu, lahirlah kebiasaan. Dari kebiasaan yang berakar, tumbuhlah keikhlasan dan kemudahan.
Ibadah pun demikian. Shalat lima waktu misalnya, bukanlah beban ringan bagi mereka yang baru memulai. Tapi ketika seseorang memaksakan diri bangun untuk subuh, menunda makan demi puasa, atau menyisihkan waktu untuk tilawah, pelan-pelan tubuh dan jiwanya mulai tunduk. Rasa berat itu akan hilang seiring waktu. Bahkan yang dulunya berat, bisa jadi menjadi candu dan kebutuhan.
Nabi dan Para Sahabat Juga Memulai dari Perjuangan
Banyak orang berpikir bahwa para Nabi, sahabat, atau para wali Allah menjalani ibadah dengan mudah karena mereka suci atau diberi kekuatan khusus. Padahal mereka pun memulai dari perjuangan. Nabi Muhammad SAW bangun malam hingga kakinya bengkak. Umar bin Khattab pernah mengaku memaksa anak-anaknya shalat. Bahkan Imam Ghazali menulis dalam Ihya’ Ulumuddin, bahwa nafsu harus dipukul dan didisiplinkan agar tunduk pada ruh dan akal.
Mereka tidak menunggu ibadah menjadi ringan, tapi menjadikan ibadah sebagai prioritas, bahkan ketika terasa berat. Dan dari sana, Allah menanamkan kenikmatan dan ketenangan yang tidak bisa dirasakan oleh orang-orang yang tidak melewati jalan perjuangan itu.
Al-Qur'an Mendorong Konsistensi, Bukan Menunggu Keikhlasan
Allah SWT tidak pernah menyuruh hamba-Nya untuk menunggu niat atau ikhlas sebelum melaksanakan ibadah. Justru sebaliknya, Allah menyuruh kita untuk menjalankan dulu, lalu bersabar, lalu menjaga konsistensi.
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS. Thaha: 132)
Perintah ini sangat tegas. Tidak ada kata tunggu. Tidak ada syarat harus ikhlas dulu. Sebab ikhlas itu proses. Ia muncul dari latihan. Dan latihan tidak bisa tanpa paksaan di tahap awal.
Antara Nafsu dan Ruh: Siapa yang Memimpin?
Setiap manusia dihadapkan pada pilihan: siapa yang akan menjadi pemimpin dalam hidupnya—nafsu atau ruh? Jika nafsu yang memimpin, maka semua akan dinilai dari enak atau tidak. Tapi jika ruh yang memimpin, maka yang dicari adalah makna, kebenaran, dan ketenangan hakiki. Pemaksaan diri dalam ibadah adalah bentuk nyata bahwa ruh kita sedang mengendalikan tubuh ini menuju tujuan yang lebih tinggi.
Karena itu, mereka yang terus memanjakan diri dengan alasan “belum siap” atau “tidak ingin munafik karena ibadah tanpa hati” justru sedang ditipu oleh hawa nafsunya. Bukankah lebih baik shalat meski berat, daripada ringan tapi tak pernah shalat? Bukankah lebih baik bangun malam meski hanya 5 menit, daripada menunggu sampai merasa khusyuk lalu tak pernah benar-benar melakukannya?
Ibadah Adalah Investasi Jiwa
Bayangkan jika seorang petani hanya mau menanam ketika dia ingin, dan berhenti ketika merasa lelah. Apa yang akan ia panen? Ibadah adalah proses panjang menanam keikhlasan dan pahala. Tidak semua langsung terasa, tapi percayalah, semuanya akan menuai hasil.
Ketika hati mulai terbiasa, ketika jiwa mulai merindukan sujud, ketika lidah mulai ringan menyebut nama-Nya, itulah buah dari keterpaksaan yang dilatih. Di sana, ibadah tidak lagi terasa sebagai beban, melainkan sebagai kebutuhan. Bahkan sebagai kenikmatan.
Penutup: Paksa Dulu, Nikmati Kemudian
Mari kita ubah cara pandang. Bukan lagi menunggu hati siap untuk beribadah, tapi melatih hati agar siap. Bukan lagi mencari alasan untuk menunda, tapi mencari celah untuk memulai. Paksa dulu diri ini bersujud, meski terasa berat. Paksa dulu mata ini bangun malam, meski terasa kantuk. Karena dari keterpaksaan itu akan lahir keikhlasan. Dan dari keikhlasan itu akan lahir cinta. Cinta kepada Tuhan yang Maha Penyayang, yang senantiasa menunggu hamba-Nya untuk kembali.
Sebab dalam paksaan hari ini, ada kemudahan esok hari. Dalam peluh yang menetes karena ibadah, ada kesejukan jiwa yang tak bisa dibeli dengan dunia.