Penulis Oleh: Azhari
Di tengah panasnya suhu politik dan derasnya arus informasi digital hari ini, satu nasihat klasik kembali terasa relevan: jaga mulut dan telinga. Nasihat yang dahulu sekadar petuah orang tua di beranda rumah kini menjadi alarm moral yang genting di tengah jagat media sosial dan ruang-ruang pergaulan politik yang penuh jebakan.
Kita hidup dalam era di mana berbicara itu mudah, mendengar itu tergesa, dan memikirkan akibat dari keduanya sering terlambat. Padahal, sejarah sering berputar bukan karena pedang yang diangkat, tapi karena lidah yang tak terkendali dan telinga yang hanya mau mendengar apa yang disukai.
Politik: Panggung yang Membuka Segala Mulut
Tak ada musim yang lebih banyak memancing mulut untuk bicara dibandingkan musim politik. Tiba-tiba semua orang menjadi pengamat, semua orang merasa paling tahu, semua opini ingin disebarluaskan. Di satu sisi ini menunjukkan gairah demokrasi, tapi di sisi lain membuka peluang besar bagi hoaks, ujaran kebencian, dan fitnah yang dibungkus kritik.
Lidah bisa menjadi senjata, atau bisa menjadi luka. Apa yang kita katakan di ruang digital bisa menjelma peluru yang membunuh karakter seseorang. Bahkan bisa menjadi bumerang yang meruntuhkan harga diri kita sendiri. Belum lagi jerat hukum seperti UU ITE yang menanti siapa pun yang tidak pandai mengendalikan narasi.
Apakah kita masih menyadari bahwa tidak semua hal perlu dikomentari? Bahwa diam, dalam situasi tertentu, lebih bijak daripada viral yang membakar?
Telinga yang Selektif: Antara Fakta dan Propaganda
Tak kalah penting dari menjaga mulut adalah melatih telinga. Di era digital, telinga bukan hanya organ tubuh, tapi metafora dari kemampuan menyaring informasi. Kita diserbu ribuan pesan setiap hari—dari grup WhatsApp keluarga sampai video TikTok politik. Banyak yang kita dengar, sedikit yang kita verifikasi. Dan lebih banyak lagi yang kita telan mentah hanya karena datang dari tokoh atau media favorit.
Apa jadinya masyarakat jika telinga mereka hanya mendengar apa yang ingin didengar, bukan yang seharusnya mereka tahu? Ini bukan soal kebebasan informasi, tapi soal kedewasaan dalam menerima perbedaan dan fakta.
Dalam politik, telinga yang tidak terlatih akan cepat tersulut, menjadi pasukan yang siap menyerang siapa saja yang dianggap berbeda. Padahal dalam demokrasi, perbedaan adalah keniscayaan, bukan permusuhan.
Digitalisasi yang Meningkatkan Risiko
Teknologi telah memudahkan komunikasi, tetapi juga mempercepat kerusakan komunikasi. Dulu, kesalahan bicara hanya terdengar oleh beberapa orang. Kini, satu kalimat yang tidak bijak bisa tersebar ke jutaan orang dalam hitungan menit.
Kita hidup di zaman di mana tanggung jawab bicara dan mendengar menjadi lebih besar. Setiap status, komentar, dan unggahan adalah cermin dari kepribadian, bahkan bisa menjadi bukti hukum. Maka, mulut dan telinga bukan hanya alat komunikasi, tapi juga alat ukur moral dan kecerdasan digital.
Pergaulan Sehat: Dimulai dari Etika Lisan dan Pendengaran
Pergaulan—baik di dunia nyata maupun maya—harus dijaga dengan adab. Menjaga lisan berarti menghindari ghibah, ujaran kebencian, dan provokasi. Menjaga telinga berarti tidak larut dalam desas-desus, tidak gampang percaya pada kabar yang belum jelas sumbernya, dan tidak ikut menyebarkan tanpa berpikir.
Masyarakat yang sehat secara sosial dan politik adalah masyarakat yang berani diam saat bicara tidak membawa manfaat, dan berani menyimak meski yang berbicara berbeda pandangan. Karena dari situlah lahir saling menghargai, bukan saling menyakiti.
Penutup: Saatnya Kembali ke Hikmah
Kita tidak sedang kekurangan informasi, tetapi kekurangan hikmah. Di tengah kecanggihan teknologi dan keterbukaan politik, hikmah menjaga lisan dan pendengaran adalah tameng terakhir dari kerusakan sosial. Maka mari kita rawat kembali etika dasar itu—karena mulut yang tak dijaga bisa menjerumuskan, dan telinga yang tak selektif bisa menyesatkan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan, memilih kapan bicara dan apa yang didengar adalah tanda kedewasaan dan keteguhan moral.