Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Jangan Sombong Ketika Naik Daun, Karena Ada Masanya Musim Gugur, dan Daun Itu Berubah Jadi Sampah

Minggu, 13 April 2025 | 13:59 WIB Last Updated 2025-04-13T06:59:29Z


Jangan Sombong Ketika Naik Daun, Karena Ada Masanya Musim Gugur, dan Daun Itu Berubah Jadi Sampah

Hidup adalah siklus. Seperti pohon yang tak selamanya rindang, manusia pun tak selamanya berada di puncak. Hari ini kita bisa menjadi yang terdepan, dielu-elukan, disanjung, dan mungkin merasa tak tergantikan. Namun esok, belum tentu daun yang kita pijak masih hijau. Mungkin telah menguning, kering, lalu jatuh dan terinjak sebagai sampah.

Pepatah ini mengajarkan kita satu hal yang sangat penting: rendah hati adalah pilihan bijak dalam setiap keberhasilan. Ketika seseorang “naik daun”—menjadi populer, kaya, sukses, atau berkuasa—ada kecenderungan untuk lupa daratan. Ia mulai memandang rendah orang lain, merasa superior, dan bahkan menganggap bahwa pencapaiannya adalah hasil mutlak dirinya sendiri. Padahal, seperti daun yang bergantung pada musim, pencapaian manusia pun terikat pada waktu, peluang, dan keberkahan yang bukan seluruhnya datang dari usaha pribadi.

Musim Gugur Tak Pernah Gagal Datang

Tak ada yang abadi, begitu kata orang bijak. Tidak pula kejayaan. Sejarah mencatat betapa banyak tokoh besar, raja-raja, politisi, pengusaha, selebritas, bahkan ulama dan pemuka agama yang pernah berada di puncak, namun akhirnya jatuh karena lupa bersikap rendah hati.

Musim gugur dalam hidup bisa hadir dalam banyak bentuk: kegagalan, sakit, kehilangan kekuasaan, dicela publik, bahkan dilupakan oleh orang-orang yang dulu memuji. Saat itulah seseorang menyadari bahwa segala yang ia banggakan, ternyata fana. Keangkuhan tak mampu menghalau kenyataan bahwa hidup selalu berputar.

Daun Kering: Metafora Kesombongan yang Usang

Ketika daun masih hijau dan menggantung indah di dahan, ia ikut menambah keanggunan pohon. Tapi begitu musim gugur datang, daun itu tak lagi dibanggakan. Ia kering, rontok, dan menjadi bagian dari debu di tanah. Begitu pula manusia. Ketika kesombongan menjadi bagian dari keberhasilan, maka ketika masa kejayaan itu runtuh, yang tersisa hanyalah penyesalan, keterasingan, dan reputasi yang rusak.

Daun kering tak hanya hilang warnanya, tapi juga kehilangan maknanya. Maka, penting bagi setiap manusia untuk terus menjaga makna dirinya, bukan hanya saat berjaya, tapi juga saat jatuh. Dan itu hanya bisa dilakukan dengan kerendahan hati dan sikap yang bijaksana.

Menanam Kebaikan Saat Berjaya

Justru ketika kita berada di atas, saat pengaruh kita besar, itulah masa terbaik untuk menebar manfaat. Bukan untuk menyombongkan pencapaian, tapi untuk membantu yang belum seberuntung kita. Orang yang bijak adalah mereka yang tetap membumi meskipun langit sedang memeluknya.

Ingatlah, pohon yang paling rindang adalah pohon yang mampu memberi keteduhan bagi makhluk lain. Bukan yang hanya memamerkan keindahan daunnya.

Refleksi Diri: Siapa yang Kita Banggakan?

Saat naik daun, coba tanyakan pada diri sendiri: apa yang membuat kita merasa hebat? Uang? Jabatan? Pengikut? Semua itu bisa hilang dalam hitungan detik. Tapi akhlak, kebaikan, dan cara kita memperlakukan sesama akan dikenang jauh lebih lama. Bahkan setelah kita tiada.

Banyak orang jatuh bukan karena gagal, tapi karena terlalu tinggi hati saat berhasil. Banyak orang ditinggalkan bukan karena tak punya, tapi karena lupa menghargai saat memiliki. Maka, jangan tunggu musim gugur menyadarkan kita. Jadilah seperti akar yang tak terlihat, tapi menopang kehidupan.


Penutup

Hidup bukan soal siapa yang naik lebih tinggi, tapi siapa yang tetap rendah hati ketika berada di puncak. Karena pada akhirnya, semua akan kembali ke tanah, seperti daun yang gugur. Maka, jangan sombong ketika naik daun, karena ada masanya musim gugur, dan daun itu berubah jadi sampah—yang tak diingat lagi oleh siapa pun, kecuali oleh tanah yang menampungnya.