Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kajian Hukum terhadap Nafkah Anak Pasca Perceraian: Kewajiban yang Tak Boleh Gugur

Selasa, 08 April 2025 | 00:24 WIB Last Updated 2025-04-08T05:16:01Z

:



Perceraian bukanlah akhir dari tanggung jawab, terutama ketika di dalamnya ada anak yang menjadi pihak paling rentan. Salah satu isu penting pasca perceraian adalah soal nafkah anak. Sayangnya, dalam banyak kasus di Indonesia, persoalan ini sering terabaikan atau tidak ditegakkan dengan serius.

Landasan Hukum Nafkah Anak

Secara normatif, kewajiban orang tua terhadap anak tetap melekat meskipun terjadi perceraian. Hal ini ditegaskan dalam beberapa regulasi:

  1. Pasal 41 huruf c UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa:

    "Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak."

  2. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 156 huruf (c) menegaskan:

    “Apabila terjadi perceraian, maka pemeliharaan anak yang belum mumayyiz adalah hak ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, dan biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.”

  3. UU Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014 Pasal 26 Ayat (1) huruf c menyatakan:

    “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar anak.”

Dari aspek hukum ini, ayah tetap menjadi penanggung jawab utama dalam hal nafkah anak, meskipun hak asuh berada di tangan ibu.


Problematika di Lapangan

Walau hukum mengatur dengan jelas, kenyataannya banyak ibu atau wali anak yang tidak mendapatkan nafkah pasca perceraian, karena berbagai faktor:

  • Mantan suami enggan menunaikan kewajiban finansial
  • Tidak ada putusan pengadilan yang tegas menetapkan jumlah nafkah
  • Lemahnya eksekusi putusan nafkah anak
  • Stigma sosial atau ketakutan ibu untuk menuntut nafkah secara hukum

Bahkan, dalam banyak kasus, mantan suami beralasan "sudah tidak ada hubungan" dengan mantan istri, padahal hubungan sebagai orang tua terhadap anak tidak pernah putus.


Peran Pengadilan dan Advokat

Idealnya, putusan perceraian dari pengadilan agama maupun pengadilan negeri harus mencantumkan besaran nafkah anak secara terperinci dan dapat dieksekusi. Maka, penting bagi kuasa hukum atau advokat yang menangani perkara perceraian untuk:

  1. Mengajukan permohonan nafkah anak sejak awal sidang
  2. Melampirkan rincian kebutuhan anak sebagai dasar penentuan jumlah nafkah
  3. Meminta amar putusan yang eksplisit dan dapat dieksekusi (eksekutorial)

Selain itu, pengadilan juga diharapkan lebih proaktif dalam menyosialisasikan hak-hak anak pasca perceraian, karena menyangkut kepentingan terbaik anak.


Sanksi Hukum bagi Ayah yang Lalai

Hingga saat ini, sanksi bagi ayah yang tidak memberikan nafkah anak masih lemah. Namun, dalam praktik, jika ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, pihak ibu/wali bisa mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan agama.

Beberapa negara sudah menerapkan sanksi tegas, seperti:

  • Pemblokiran rekening atau gaji
  • Larangan bepergian ke luar negeri
  • Pencabutan izin tertentu

Model ini bisa menjadi inspirasi reformasi hukum di Indonesia agar hak anak lebih terlindungi secara nyata.


Penutup: Tanggung Jawab yang Tidak Terputus

Perceraian boleh mengakhiri ikatan suami istri, namun tidak pernah menghapus ikatan orang tua dan anak. Nafkah anak bukan semata urusan materi, tetapi bagian dari tanggung jawab moral, spiritual, dan sosial yang melekat seumur hidup.

Sudah saatnya sistem hukum, aparat, dan masyarakat menjadikan nafkah anak pasca perceraian sebagai isu penting yang wajib ditegakkan. Karena keadilan bagi anak adalah fondasi masa depan bangsa.

Penulis Azhari