Ketika Perempuan Memilih Diam untuk Selamanya: Refleksi Sosial dan Ekonomi atas Tragedi Bunuh Diri
Oleh: Azhari
Bunuh diri bukan sekadar akhir dari sebuah kisah personal. Ia adalah suara paling sunyi yang tak lagi tertampung oleh dunia yang terlalu gaduh. Ketika seorang perempuan memilih untuk mengakhiri hidupnya, dunia seharusnya berhenti sejenak, bertanya: apa yang sedang kita abaikan?
Fenomena perempuan yang bunuh diri bukan hal baru, tapi setiap peristiwa yang terjadi seharusnya menggetarkan hati nurani kolektif. Di balik tubuh yang tak lagi bernyawa, ada kisah panjang tentang tekanan, luka, ketidakadilan, dan keterasingan. Apakah akar persoalan itu sosial, ekonomi, atau kombinasi keduanya?
I. Dimensi Sosial: Norma yang Menjerat dan Tekanan yang Mencekik
Dalam banyak masyarakat, termasuk Indonesia, perempuan masih sering hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sosial yang kaku. Perempuan ‘ideal’ adalah yang patuh, tidak banyak menuntut, mampu memikul beban rumah tangga, dan tidak mengeluh.
Ketika seorang istri ditinggal suami, dia dianggap harus kuat demi anak-anak. Ketika perempuan belum menikah di usia 30-an, ia dituduh ‘tidak laku’. Ketika korban kekerasan berbicara, ia disalahkan karena "tidak menjaga diri". Ini bukan cerita fiksi—ini realitas yang dihadapi banyak perempuan setiap hari.
Tekanan sosial semacam ini menumpuk dalam diam. Perempuan yang lelah, yang kecewa, yang tersudut, sering kali tidak memiliki ruang aman untuk menangis, apalagi untuk mengadu. Mereka belajar membungkam rasa, demi mempertahankan “citra baik” di mata lingkungan. Ketika tak ada lagi ruang untuk bernafas secara emosional, maka bunuh diri menjadi pilihan pahit yang muncul dari keputusasaan, bukan karena kelemahan.
II. Dimensi Ekonomi: Ketidakmandirian yang Meninggalkan Luka
Di sisi lain, masalah ekonomi memainkan peran besar dalam menghancurkan rasa percaya diri perempuan. Ketika perempuan tidak memiliki penghasilan sendiri, ia menjadi sangat tergantung pada pasangan, keluarga, atau bantuan sosial. Ketika hubungan rusak atau rumah tangga gagal, ia tak hanya kehilangan pasangan, tapi juga penopang ekonomi.
Banyak perempuan janda, ibu tunggal, atau pekerja informal hidup dalam kemiskinan struktural. Mereka tidak hanya miskin secara materi, tapi juga miskin perlindungan, miskin akses terhadap pendidikan dan keterampilan, serta miskin dukungan kebijakan. Sistem ekonomi kita belum cukup ramah pada perempuan yang terpinggirkan.
Bayangkan perempuan yang harus membayar sekolah anak, membeli susu, melunasi utang, membayar kontrakan, sambil menghadapi cibiran tetangga. Banyak dari mereka tetap tegar. Tapi sebagian, yang tidak punya siapa-siapa, akhirnya menyerah. Bunuh diri adalah bentuk perlawanan paling sunyi, ketika hidup tak memberi ruang untuk bertahan.
III. Realitas yang Terlupakan: Kesehatan Mental Perempuan
Salah satu hal yang paling ironis dari tragedi bunuh diri perempuan adalah bagaimana isu kesehatan mental begitu diremehkan. Perempuan yang depresi dianggap terlalu sensitif. Perempuan yang menangis terus-menerus dianggap cengeng. Padahal, mereka yang memendam luka batin tanpa tempat berbagi adalah yang paling rentan.
Indonesia memiliki kekurangan besar dalam layanan kesehatan mental, apalagi bagi kalangan perempuan marginal. Konseling psikologi masih dianggap mewah. Stigma terhadap depresi dan trauma sangat kuat. Akibatnya, banyak perempuan mengalami gangguan mental tanpa pernah terdiagnosis, tanpa pernah ditangani, dan akhirnya tanpa pernah diselamatkan.
IV. Haruskah Perempuan Selalu Kuat Sendiri?
Kita sering memuja perempuan yang kuat, yang "tak pernah mengeluh", yang mampu menahan segala luka sambil tetap tersenyum. Tapi sesungguhnya, perempuan tidak harus kuat sendiri. Perempuan juga manusia. Perempuan juga berhak untuk lelah, menangis, dan meminta pertolongan.
Namun sistem sosial kita belum siap menerima itu. Alih-alih mendukung, sering kali masyarakat justru menekan. Saat seorang ibu rumah tangga mengeluh soal suaminya, ia dianggap tidak bersyukur. Saat seorang perempuan minta cerai karena disakiti, ia dianggap durhaka. Masyarakat kita terbiasa menyuruh perempuan untuk diam, bukan untuk menyembuhkan.
V. Solusi: Membangun Dunia yang Lebih Peduli pada Perempuan
Jika kita benar-benar ingin mencegah perempuan dari tindakan bunuh diri, kita harus membangun sistem yang berpihak. Berikut beberapa solusi strategis:
-
Pendidikan Kesetaraan Gender Sejak Dini
Anak-anak perlu dididik bahwa perempuan dan laki-laki setara. Bahwa perempuan punya hak atas hidup, cinta, dan keberhasilan—tanpa dikekang oleh norma sempit. -
Dukungan Kesehatan Mental yang Inklusif
Pemerintah daerah dan pusat harus membangun layanan kesehatan mental yang mudah diakses, murah, dan ramah terhadap perempuan miskin, korban kekerasan, dan janda. -
Pemberdayaan Ekonomi Berbasis Komunitas
Perempuan perlu dilatih keterampilan hidup dan didukung dengan akses modal, pasar, dan jaringan usaha. Kemandirian ekonomi adalah benteng kuat melawan ketidakberdayaan. -
Kebijakan Anti-Stigma dan Perlindungan Sosial
Hukum harus berpihak pada korban, bukan pelaku. Perlindungan terhadap perempuan harus nyata: dari pelecehan, kekerasan rumah tangga, hingga eksploitasi ekonomi. -
Pusat Krisis Perempuan di Tingkat Kecamatan dan Desa
Pemerintah bisa menyediakan posko atau rumah aman bagi perempuan yang mengalami krisis psikologis atau kekerasan. Tempat ini bisa menjadi alternatif sebelum mereka merasa “tidak punya jalan keluar.”
Penutup: Jangan Biarkan Perempuan Menyerah dalam Sunyi
Kita tidak tahu seberapa banyak perempuan yang berjalan sambil membawa luka dalam diam. Kita tidak tahu seberapa sering mereka bangun di pagi hari dengan hati yang hancur, lalu tetap memasak, mencuci, dan mengasuh anak seperti biasa. Tapi kita tahu satu hal: tidak ada perempuan yang ingin mati, kecuali mereka merasa tak punya pilihan untuk hidup.
Bunuh diri perempuan adalah kegagalan sistem sosial dan ekonomi kita. Kegagalan untuk mendengar, memahami, dan memulihkan. Dan setiap tragedi yang terjadi harus menjadi cermin bagi kita semua—untuk lebih peduli, lebih tanggap, dan lebih manusiawi.
Karena satu jiwa perempuan yang terselamatkan, adalah satu generasi masa depan yang masih bisa tumbuh dengan harapan.