Oleh: Azhari
Konflik bersenjata di Aceh selama puluhan tahun meninggalkan jejak luka yang dalam bagi rakyatnya. Ribuan nyawa melayang, dan lebih menyakitkan lagi, banyak di antaranya terjadi di depan mata keluarga sendiri. Tragedi ini bukan sekadar angka dalam laporan HAM, tapi luka batin yang hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Aceh. Ketika seorang ayah, ibu, anak, atau saudara dibunuh di hadapan keluarganya, maka yang terbunuh bukan hanya satu nyawa—melainkan juga rasa aman, kepercayaan, dan kemanusiaan itu sendiri.
Memori Kekerasan yang Membekas
Selama masa darurat militer, kekerasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Rumah tak lagi jadi tempat berlindung. Dalam berbagai kesaksian, banyak warga Aceh menyaksikan sendiri orang tua atau kerabat mereka diseret keluar rumah, dipukuli, bahkan ditembak tanpa proses hukum. Suara tangisan dan teriakan menjadi hal biasa. Anak-anak melihat langsung bagaimana orang yang mereka cintai dihancurkan oleh kekuasaan yang seharusnya melindungi.
Tragedi seperti itu bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikologis yang menghancurkan generasi.
Keadilan yang Belum Datang
Meskipun perdamaian telah tercapai melalui MoU Helsinki tahun 2005, banyak keluarga korban yang belum mendapatkan keadilan. Tidak ada pengadilan HAM yang berjalan efektif, tidak ada pengakuan negara yang jelas terhadap berbagai kekejaman itu. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh bekerja keras, namun wewenangnya terbatas dan implementasi rekomendasinya sering diabaikan.
Keadilan yang tidak kunjung datang membuat luka tetap basah. Keluarga korban terus bertanya, untuk apa perdamaian jika kebenaran tidak pernah diungkap? Bagaimana bisa melupakan jika pelaku masih bebas berkeliaran?
Luka Psikologis dan Sosial
Pembunuhan di depan mata bukan sekadar peristiwa traumatis; ia membentuk cara pandang terhadap dunia. Banyak korban atau saksi anak-anak yang tumbuh dalam ketakutan, dendam, atau kebisuan. Tak sedikit dari mereka yang kehilangan arah hidup, pendidikan, bahkan semangat untuk membangun masa depan.
Secara sosial, ini menimbulkan sikap apatis dan hilangnya rasa percaya pada institusi negara. Komunitas kehilangan jati diri dan keakraban yang dahulu kuat karena semua orang mencurigai semua. Sebuah masyarakat yang hidup dalam ketakutan sulit membangun peradaban.
Jalan Menuju Penyembuhan
Untuk menyembuhkan luka Aceh, kita butuh keberanian untuk membuka kembali lembaran sejarah yang kelam. Bukan untuk membangkitkan konflik, melainkan agar kita bisa berdamai dengan masa lalu. Pengakuan negara terhadap pelanggaran HAM, rehabilitasi korban, pengarsipan sejarah kekerasan, dan edukasi kepada generasi muda adalah beberapa langkah penting.
Satu hal yang tidak boleh kita abaikan: memanusiakan kembali para korban. Mereka bukan hanya angka atau narasi, mereka adalah manusia yang pernah bermimpi, mencinta, dan kehilangan.
Penutup
Konflik Aceh adalah bagian dari sejarah bangsa yang harus kita hadapi dengan jujur dan terbuka. Pembunuhan keluarga di depan mata bukan hanya tragedi kemanusiaan, tetapi juga simbol kegagalan kita menjaga hak hidup dan martabat manusia. Perdamaian sejati tidak cukup hanya dengan senjata yang berhenti menyalak, tapi juga dengan luka yang diobati, kebenaran yang diungkap, dan keadilan yang ditegakkan.
Semoga Aceh tidak hanya dikenal karena lukanya, tapi juga karena keberaniannya menyembuhkan dan membangun kembali peradaban dengan damai.