Korupsi adalah musuh bersama bangsa ini. Ia tidak hanya merampok uang negara, tetapi juga mencuri harapan rakyat kecil, menghancurkan sistem, dan memperpanjang penderitaan sosial. Tahun berganti, rezim berganti, tetapi korupsi tetap hidup—tumbuh subur dalam ruang-ruang kekuasaan yang gelap dan tertutup. Dan satu pola yang tak bisa kita abaikan: pelaku korupsi paling banyak masih didominasi oleh laki-laki, yang berkali-kali diberi mandat untuk mengatur negeri namun tergoda menyalahgunakan wewenang.
Di tengah kekecewaan publik yang terus membuncah, kita harus berani bertanya: apakah struktur kekuasaan yang maskulin telah gagal mengelola negeri ini? Dan lebih penting lagi, bukankah sudah saatnya perempuan diberi ruang lebih besar untuk mengambil alih kepemimpinan—bukan sebagai pelengkap, tetapi sebagai pengarah arah masa depan bangsa?
Dominasi Maskulin dan Cermin Kekuasaan yang Gagal
Sejak awal republik ini berdiri, struktur pemerintahan Indonesia sangat patriarkal. Dari presiden, gubernur, hingga kepala desa, wajah-wajah pemimpin didominasi oleh pria. Di satu sisi, ini merefleksikan budaya yang kuat menempatkan laki-laki sebagai pemegang kuasa. Namun di sisi lain, ketika kita melihat daftar pelaku korupsi dalam laporan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lembaga hukum lainnya, terlihat betapa dominasi ini justru menghasilkan kerusakan yang masif.
Korupsi dalam berbagai bentuk—suap proyek, mark up anggaran, jual beli jabatan, hingga nepotisme dalam birokrasi—semuanya tumbuh dari sistem yang didesain tertutup, eksklusif, dan penuh kompetisi maskulin. Kekuasaan dipandang sebagai alat untuk menguasai, bukan untuk melayani. Dalam atmosfer ini, integritas dikorbankan demi kepentingan kelompok, dan pelayanan publik berubah menjadi ladang transaksi politik.
Perempuan, Integritas, dan Kepemimpinan Alternatif
Perempuan bukan makhluk suci yang imun dari korupsi. Namun dalam banyak studi global, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan justru terbukti dapat menurunkan tingkat korupsi. Sebuah penelitian oleh World Bank dan International Monetary Fund menemukan bahwa negara dengan representasi perempuan tinggi di parlemen cenderung memiliki tingkat korupsi yang lebih rendah. Mengapa demikian?
Pertama, karena perempuan seringkali membawa gaya kepemimpinan yang berbeda—lebih partisipatif, kolaboratif, dan empatik. Mereka cenderung mengedepankan transparansi dan kepentingan komunitas, bukan ego personal atau kepentingan kroni.
Kedua, perempuan memiliki pengalaman sosial yang kuat dalam mengelola tanggung jawab domestik, mengatur sumber daya terbatas, dan memprioritaskan kebutuhan mendesak keluarga. Dalam banyak kasus, kualitas ini menjadikan perempuan pemimpin yang lebih peka terhadap pelayanan publik dan lebih hemat dalam penggunaan anggaran.
Ketiga, perempuan yang berhasil masuk ke politik dan birokrasi sering kali melewati tantangan yang lebih berat dibanding laki-laki. Mereka telah teruji dalam hal keteguhan, konsistensi, dan keberanian menghadapi diskriminasi. Karakter ini menjadikan mereka pemimpin yang lebih tahan terhadap godaan korupsi.
Saatnya Kuota Bukan Sekadar Angka
Indonesia telah memiliki kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Namun, kita tahu bahwa banyak perempuan di legislatif hanya menjadi pelengkap daftar calon—dipasang untuk memenuhi aturan, bukan untuk memperjuangkan kepentingan gender dan masyarakat. Ini adalah bentuk pembajakan politik yang harus kita lawan.
Perempuan yang masuk politik harus didorong bukan hanya untuk hadir, tetapi untuk memimpin. Untuk menjadi pemegang kendali, pengambil kebijakan, dan pelindung nilai-nilai integritas. Pemerintahan daerah, kementerian, bahkan lembaga penegak hukum harus memberi ruang setara bagi perempuan untuk membuktikan kemampuannya. Sudah terlalu lama negeri ini hanya dikelola oleh satu sisi dari potensi manusia. Saatnya separuh kekuatan bangsa yang selama ini tersisih—yakni perempuan—diberi tempat untuk menyelamatkan negeri dari jurang korupsi yang terus melebar.
Tokoh-Tokoh Perempuan Inspiratif yang Membuktikan
Indonesia tidak kekurangan sosok perempuan yang mampu memimpin dengan bersih dan visioner. Sebut saja Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan yang diakui dunia atas kredibilitas dan integritasnya dalam mengelola keuangan negara. Di tingkat lokal, ada Tri Rismaharini, yang selama menjabat Wali Kota Surabaya dikenal tegas, pro-rakyat, dan bersih dari praktik korupsi.
Ada pula Susi Pudjiastuti yang dengan gaya kepemimpinan nyentrik dan berani, berhasil menertibkan praktik pencurian ikan di laut Indonesia. Mereka bukan hanya pemimpin perempuan yang berhasil, tetapi simbol bahwa perempuan bisa hadir membawa perubahan nyata.
Yang kita butuhkan adalah lebih banyak lagi Susi, Risma, dan Sri Mulyani di seluruh lini pemerintahan. Mereka harus muncul dari desa, dari kecamatan, dari organisasi perempuan, dan dari komunitas masyarakat akar rumput.
Membangun Generasi Perempuan Antikorupsi
Perjuangan ini tidak bisa hanya berhenti pada elit. Kita perlu membangun kesadaran kolektif sejak dini bahwa perempuan adalah agen perubahan. Pendidikan politik bagi perempuan harus digencarkan. Pelatihan kepemimpinan, advokasi kebijakan, dan literasi antikorupsi harus dijadikan bagian dari program pemberdayaan perempuan.
Organisasi perempuan, baik yang berbasis agama, adat, maupun komunitas sosial, harus berani menggeser fokus: bukan hanya soal ekonomi rumah tangga, tetapi juga soal pengambilan keputusan publik. Karena bila perempuan tidak ambil bagian dalam kekuasaan, maka mereka akan terus menjadi korban dari keputusan yang dibuat oleh orang lain.
Penutup: Negeri Ini Perlu Perempuan yang Berani
Di tengah laju korupsi yang semakin merajalela, tidak cukup lagi hanya berharap pada sistem dan janji kampanye. Kita butuh revolusi dalam struktur kekuasaan. Dan revolusi itu bisa dimulai dari membuka ruang yang luas bagi perempuan untuk mengambil posisi, bersuara, dan memimpin.
Perempuan harus diberi ruang, tapi lebih penting lagi: perempuan harus merebut ruang. Karena ketika ruang kekuasaan hanya diisi oleh wajah-wajah lama yang terbukti korup, maka masa depan negeri ini hanya akan jadi daur ulang dari kegagalan masa lalu.
Sudah saatnya kita percaya bahwa kekuatan, ketegasan, dan integritas tidak hanya milik pria. Perempuan pun bisa memimpin, mengatur, dan menjaga negeri ini dengan lebih bersih, adil, dan berkeadaban.
Korupsi merajalela. Maka perempuan, bangkitlah. Ambillah posisi. Jadilah cahaya di tengah kegelapan kekuasaan. Indonesia sedang memanggilmu.