Kota Santri dalam Mimpi: Hanya Kata, Tak Ada Bukti untuk Mereka yang Pasti
Istilah "Kota Santri" terdengar megah, penuh simbol keislaman, dan seolah menjadi klaim moral bagi suatu daerah. Namun jika kita jujur melihat realitas hari ini, apa yang kita saksikan? Kota-kota yang menyebut dirinya kota santri justru hanyalah kota dalam mimpi—bukan karena keindahan cita, tetapi karena segala yang dijanjikan hanya tinggal kata. Tak ada bukti untuk mereka yang katanya pasti.
Retorika Kosong tentang Santri
Tiap masa politik, santri dijadikan alat kampanye. “Santri pasti jujur”, “Santri layak memimpin”, “Kota ini harus dikembalikan ke tangan santri”—begitu suara-suara yang kerap terdengar di baliho dan pidato. Tapi bagaimana realitanya setelah kekuasaan digenggam? Banyak yang melupakan pesantren, meninggalkan nilai, dan mengabaikan tanggung jawab.
Santri dijual dalam retorika, tetapi dilupakan dalam program nyata. Mereka disebut dalam visi, tapi tak tampak dalam realisasi. Lalu apa arti kota santri, jika kehadiran santri hanya sebatas simbol?
Simbol Diagungkan, Nilai Dihilangkan
Santri bukan tentang sorban dan kitab semata. Santri adalah sikap hidup: jujur, sederhana, disiplin, dan amanah. Tapi kota-kota yang katanya kota santri, justru tidak menjunjung nilai-nilai itu.
Korupsi masih ada, pembangunan tak merata, angka pengangguran tinggi, dan pelayanan publik stagnan. Lalu kita tanya: di mana letak "santri" dalam semua ini? Jika yang dijual hanya citra, maka kota ini bukan kota santri, tapi kota yang hidup dalam mimpi palsu.
Santri Tidak Butuh Pujian, Tapi Perhatian
Santri tidak menuntut gelar atau panggung. Mereka hanya ingin dihargai melalui perhatian nyata: pembangunan pesantren, akses pendidikan, pelatihan keterampilan, dan dukungan bagi alumni dayah. Namun ironisnya, mereka yang berjasa mendidik generasi justru tak masuk dalam prioritas kebijakan.
Santri yang tulus mengabdi di pedalaman, tak pernah masuk radar APBK. Sementara mereka yang hanya menjual simbol santri, justru duduk nyaman dalam kursi kekuasaan.bila ada bantuan hanya terbatas maka ini perlu perubahan.
Cukuplah Kota Ini Jadi Tempat Berbuat, Bukan Berkata
Jika benar ingin membangun kota santri, maka bangunlah kota dengan nilai-nilai kesantrian. Bukan hanya sekadar menyebutnya dalam pidato, tapi menjadikannya panduan dalam kebijakan.
Kota yang religius bukan kota yang banyak masjid dan baliho ulama. Kota yang religius adalah kota yang adil, bersih dari korupsi, peduli rakyat kecil, dan memperjuangkan pendidikan untuk semua. Kota yang pemimpinnya tidak hanya pandai bicara soal surga, tapi bekerja keras agar rakyat tak hidup dalam neraka kemiskinan.
Saatnya pemerintah hadir mengawal dan mengontrol secara fakta seluruh anak mengaji dan lanyak nya anak yang ada yang miski orang tuanya tidak mampu mendapatkan biaya siswa santri penuh dalam belajar dan mendapatkan lanjutan pendidikan yang lanyak agar SDM bangsa ini ada dan mareka yang sudah selesai dalam pendidikan di kelola oleh pemerintah di dalam masyarakat untuk membawa perubahan di sekitar.
Dan juga pemerintah harus hadir saat ada santri bila ada kendala dalam kitab belajar agar mareka tidak kembali pulang tidak lagi belajar.
Butuh Bukti, Bukan Lagi Janji
Pemimpin adalah mereka yang membuktikan, bukan yang membualkan. Jika pemimpin hari ini hanya memakai nama "santri" untuk kepentingan politik, maka rakyat punya hak untuk bangkit dan berkata: kami tidak butuh kata-kata lagi. Kami ingin bukti.
Karena kota ini bukan kota dalam mimpi. Kota ini adalah milik rakyat, dan rakyat berhak mendapat pemimpin yang benar-benar bekerja, bukan yang hanya bersembunyi di balik kata suci.