Istilah "Kota Santri" seringkali digunakan sebagai simbol keagamaan dan moralitas, namun realitasnya seringkali jauh dari janji. Retorika politik seringkali mengeksploitasi citra santri untuk meraih kekuasaan, tanpa diikuti komitmen nyata dalam pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, khususnya para santri. Janji-janji manis kampanye politik tentang santri yang jujur dan layak memimpin seringkali hanya tinggal janji.
Kehidupan santri yang sesungguhnya, jauh dari sorban dan kitab semata, merupakan cerminan nilai-nilai luhur seperti kejujuran, kesederhanaan, kedisiplinan, dan amanah. Ironisnya, kota-kota yang mengklaim diri sebagai "Kota Santri" seringkali gagal mewujudkan nilai-nilai tersebut. Korupsi, pembangunan yang tidak merata, pengangguran tinggi, dan pelayanan publik yang buruk menjadi bukti nyata kegagalan tersebut. Kehadiran santri hanya sebagai simbol semata, tanpa dibarengi dengan upaya nyata untuk meningkatkan kesejahteraan mereka.
Santri tidak membutuhkan pujian kosong, melainkan perhatian nyata berupa pembangunan pesantren yang memadai, akses pendidikan yang berkualitas, pelatihan keterampilan, dan dukungan bagi alumni pesantren. Anggaran pemerintah daerah (APBD) seringkali mengabaikan kebutuhan riil para santri dan para pendidik di pesantren. Bantuan yang ada seringkali terbatas dan tidak merata, sehingga banyak santri yang kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan bergizi dan biaya pendidikan. Contohnya, masih banyak santri yang hanya makan Indomie, nasi tanpa lauk, dan minum air biasa di pesantren. Kondisi ini memprihatinkan, mengingat peran penting santri dalam pembangunan bangsa. Dewan guru yang tidak memiliki penghasilan tetap dan tunggakan uang bulanan santri juga menjadi masalah yang perlu segera diatasi.
Pemerintah perlu hadir secara nyata untuk mengawasi dan memastikan kesejahteraan santri, mulai dari pemenuhan kebutuhan dasar hingga akses pendidikan lanjutan. Program beasiswa yang memadai dan terarah sangat dibutuhkan agar santri dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain itu, pemerintah juga perlu memfasilitasi para alumni pesantren agar dapat berkontribusi dalam pembangunan masyarakat.
"Kota Santri" yang sesungguhnya bukanlah kota yang hanya dipenuhi masjid dan baliho ulama, melainkan kota yang adil, bersih dari korupsi, peduli terhadap rakyat kecil, dan memprioritaskan pendidikan untuk semua. Pemimpin yang bijak bukan hanya pandai berbicara tentang surga, tetapi juga bekerja keras agar rakyat tidak hidup dalam neraka kemiskinan. Saatnya janji-janji digantikan dengan bukti nyata, sehingga "Kota Santri" tidak hanya menjadi mimpi, tetapi realitas yang dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Rakyat berhak mendapatkan pemimpin yang benar-benar bekerja untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya bersembunyi di balik simbol dan retorika.
Maka harapan kami semoga pemerintah serius dan peduli untuk mareka santri dan lahirnya program yang bermanfaat bukan hanya sebuah kegiatan seremonial tapi kegiatan yang memberi kan skill untuk kehidupan yang akan datang saat mareka tidak lagi di dalam pendidika sudah kembali dalam masyarakat.
Penulis Azhari