Dalam tradisi masyarakat kita, pernikahan bukan sekadar kontrak sosial antara dua individu, tetapi sebuah peristiwa sakral yang menggabungkan cinta, tanggung jawab, dan pengabdian. Namun dalam praktiknya, motif pernikahan sering kali berangkat dari dua arah besar: menikah karena cinta atau karena ibadah. Pertanyaannya, manakah yang lebih ideal? Atau haruskah keduanya hadir dalam satu harmoni?
Cinta: Nafas Emosional yang Menghidupkan
Tidak bisa dipungkiri, cinta sering menjadi alasan pertama dalam pernikahan, terutama di kalangan muda. Cinta adalah daya tarik emosional yang menumbuhkan hasrat untuk saling memiliki dan hidup bersama. Dari cinta muncul keinginan untuk berbagi mimpi, membangun keluarga, dan merajut masa depan.
Namun, cinta juga makhluk yang rapuh. Ia bisa tumbuh dan bisa layu. Ia bisa berbunga di musim semi, tetapi bisa pula gugur di musim dingin konflik dan kesibukan. Menikah hanya karena cinta, tanpa visi jangka panjang dan kesadaran tanggung jawab, berpotensi membawa pasangan ke titik jenuh dan perpecahan saat gelombang rumah tangga datang silih berganti.
Ibadah: Pondasi Spiritualitas dan Komitmen
Di sisi lain, sebagian orang memilih menikah karena ibadah—karena menyadari bahwa pernikahan adalah bagian dari pengabdian kepada Tuhan. Pernikahan, dalam pandangan ini, bukan semata-mata tentang memiliki pasangan, melainkan tentang menyempurnakan setengah agama, membangun keluarga sakinah, dan menjalani peran sosial sebagai suami atau istri dengan penuh kesungguhan.
Menikah karena ibadah memupuk kesadaran bahwa rumah tangga bukan tempat melampiaskan ego, tapi ladang pengorbanan dan perjuangan. Saat pasangan melakukan kekeliruan, kesadaran bahwa kita berjuang karena Allah membuat kita lebih mudah memaafkan dan memperbaiki.
Namun, tanpa cinta, ibadah dalam rumah tangga bisa terasa kering. Hubungan bisa berubah menjadi sekadar formalitas atau kontrak tanggung jawab yang hampa dari rasa.
Dikotomi yang Menyesatkan
Memisahkan antara cinta dan ibadah dalam pernikahan adalah jebakan berpikir. Dua hal ini bukan kutub yang saling bertentangan, tetapi dua sayap yang harus mengepak bersamaan. Cinta memberikan semangat, ibadah memberikan arah. Cinta menghidupkan hari-hari, ibadah menguatkan langkah-langkah.
Pernikahan yang ideal adalah ketika dua insan mencintai bukan semata karena fisik atau kenyamanan duniawi, tapi karena melihat pasangan sebagai bagian dari perjalanan menuju Tuhan. Mereka saling mencintai dalam ibadah, dan beribadah dalam cinta.
Kasus Nyata: Cinta Tanpa Ibadah, Ibadah Tanpa Cinta
Banyak kisah rumah tangga yang kandas karena cinta yang dulu menyala-nyala meredup saat diuji oleh masalah finansial, kehadiran anak, atau konflik keluarga besar. Di sisi lain, tak sedikit pula pernikahan yang bertahan secara formal karena alasan agama, tetapi di dalamnya kosong dari kehangatan dan afeksi.
Dalam kasus pertama, cinta saja tidak cukup. Dalam kasus kedua, ibadah saja juga tak membuat rumah tangga bahagia. Maka keduanya perlu dikawinkan, bukan dipertentangkan.
Refleksi untuk Generasi Muda
Generasi muda hari ini perlu diberi ruang untuk berpikir matang tentang pernikahan. Jangan menikah hanya karena tergila-gila cinta, tetapi jangan pula menikah hanya karena takut dosa atau ingin "menyempurnakan agama" tanpa kesiapan batin dan emosional. Pernikahan bukan pelarian, bukan solusi darurat, bukan panggung pencitraan sosial.
Menikah karena cinta dan ibadah adalah bentuk kedewasaan. Ini tentang mencintai seseorang karena kita ingin bersamanya di dunia dan akhirat, dan menjadikannya teman dalam sujud, pelindung dalam badai, serta sandaran dalam perjuangan hidup.