Di antara ajaran Islam yang paling hakiki dan seringkali dilupakan dalam keseharian adalah perintah menjaga aurat. Aurat bukan sekadar wilayah tubuh yang harus ditutup, tetapi juga simbol kehormatan, rasa malu, dan nilai diri yang tinggi dalam pandangan agama. Ajaran ini seharusnya menjadi bagian dari pendidikan moral dan karakter anak sejak usia dini, namun hari ini ia mulai terkikis oleh normalisasi budaya telanjang yang menyusup dari layar-layar digital ke ruang keluarga.
Kita hidup di era yang disebut banyak ulama sebagai "fitnah zaman", ketika rasa malu dianggap kuno dan kebanggaan justru ditunjukkan dengan mengekspos tubuh. Anak-anak, sejak usia sangat belia, telah disuguhkan konten-konten yang mempermainkan batasan aurat, baik dalam bentuk tayangan kartun yang permisif, tren pakaian remaja, hingga tantangan media sosial yang menormalisasi pamer tubuh.
Ironisnya, semua ini terjadi bukan di luar negeri—tetapi di rumah kita sendiri, bahkan di provinsi yang menjunjung tinggi syariat Islam: Aceh.
Di Mana Pendidikan Moral Dimulai?
Pendidikan karakter tak bisa dimulai dari undang-undang. Ia tumbuh di rumah, dari keteladanan orang tua. Seorang ayah yang tak segan membuka auratnya di rumah, atau ibu yang bercelana pendek di depan anaknya, adalah pelajaran paling efektif yang akan direkam oleh anak lebih dalam daripada seribu khutbah. Maka, jika kita ingin membangun generasi yang menjaga aurat, kita harus mulai dari keluarga yang punya rasa malu dan tahu batas.
Sekolah dan dayah juga harus ikut ambil bagian. Fiqih aurat tidak cukup dijelaskan sebagai hukum salat saja. Harus diajarkan konteksnya dalam kehidupan sehari-hari: bagaimana berpakaian saat olahraga, saat pesta ulang tahun, bahkan saat berselancar di media sosial. Pendidikan aurat tak lagi cukup hanya bicara soal penutupan, tapi juga menyangkut estetika, kesopanan, dan sikap menghargai diri.
Digital: Ruang Baru, Tantangan Baru
Di era digital, menjaga aurat tak cukup dengan mengenakan hijab atau gamis di luar rumah. Kini, seseorang bisa membuka auratnya di ruang privat lalu menyebarkannya secara publik lewat satu klik. Di sinilah krusialnya pendidikan karakter berbasis etika digital Islami. Anak-anak harus disadarkan bahwa tubuhnya adalah amanah, dan jejak digital mereka adalah cerminan dari akhlak yang tak pernah padam.
Pemerintah daerah dan lembaga syariat harus serius memikirkan regulasi yang bukan hanya represif terhadap pelanggaran aurat, tetapi juga edukatif. Qanun Etika Digital Islami yang sedang digagas seharusnya memasukkan aspek perlindungan aurat di media sosial sebagai bagian dari penjagaan moral masyarakat.
Bukan Pengekangan, Tapi Pemberdayaan
Sering kali, menjaga aurat dianggap sebagai pengekangan. Padahal, ia adalah bentuk pembebasan dari penilaian fisik yang dangkal. Anak perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai menjaga aurat tumbuh dengan pemahaman bahwa kecantikan bukan untuk konsumsi publik, dan harga diri tidak bergantung pada pujian visual. Anak laki-laki juga harus dibina untuk tahu batas aurat mereka, serta diajarkan untuk menghormati perempuan yang memilih menutup dirinya.
Di sinilah letak pentingnya narasi baru. Menjaga aurat harus dipahami bukan sebagai beban, tapi sebagai kemuliaan. Ia bukan penjajahan tubuh oleh norma, tapi bentuk penjagaan diri oleh iman.
Penutup: Tugas Kita Bersama
Menjaga aurat adalah proyek peradaban. Ia bukan sekadar isu pakaian, tetapi fondasi etika dan akhlak yang menentukan arah moral generasi. Jika hari ini kita gagal menanamkan nilai itu dalam diri anak-anak, maka esok mereka akan hidup di dunia yang tak mengenal batas, tak tahu malu, dan tak punya perlindungan.
Maka mari kita mulai dari rumah, dari keluarga, dari ruang kelas, dan dari layar ponsel kita masing-masing. Karena aurat bukan hanya yang terlihat oleh mata, tapi juga yang harus dijaga oleh hati.