Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Money Politik, Oknum Bupati, dan Umat yang Terus Jadi Korban

Senin, 07 April 2025 | 01:04 WIB Last Updated 2025-04-06T18:04:57Z





Setiap hajatan politik daerah tiba, masyarakat disuguhi parade janji dan baliho. Tapi realitas di lapangan masih tak banyak berubah: praktik money politik tetap menjadi jalan pintas menuju kekuasaan.

Money politik bukan sekadar pelanggaran moral dan hukum, melainkan awal dari rusaknya arah pemerintahan. Bupati yang terpilih dengan mengandalkan politik uang sejatinya terjerat hutang besar. Hutang pada para sponsor, pada tim sukses, bahkan pada sistem yang ia mainkan sendiri.

Ketika kekuasaan diperoleh lewat transaksi, maka kebijakan pun rentan diperjualbelikan. Oknum bupati yang mestinya menjadi pemimpin umat justru sibuk membayar "balas budi": bagi-bagi proyek, mengisi jabatan dengan loyalis, dan mengamankan kekuasaan, bukan menepati janji kampanye. Umat pun lagi-lagi menjadi korban—dijanjikan perubahan, tetapi diwarisi kekecewaan.

Tak hanya di level kepala daerah, fenomena "oknum tim sukses" juga turut memperkeruh demokrasi lokal. Alih-alih menjadi penggerak perubahan, sebagian dari mereka justru berperan sebagai operator politik uang. Mereka menjadi distributor “serangan fajar”, lobi proyek, bahkan calo jabatan setelah kemenangan diraih. Ketika harapan mereka tidak terpenuhi, konflik pun terjadi: rasa kecewa, saling ancam, bahkan upaya sabotase dari dalam.

Yang lebih tragis, oknum tim sukses ini sering kali menjadi korban dari sistem yang mereka bantu menangkan. Mereka menuntut "jatah" sebagai bayaran atas kontribusi, tetapi ketika tidak mendapatkannya, mereka terpinggirkan. Sementara sang pemimpin asyik membentuk lingkaran baru yang lebih loyal, lebih bersih citra, dan lebih bisa dikendalikan.

Situasi ini melahirkan siklus yang merusak: pemilih tergoda uang, tim sukses bermain curang, pemimpin lupa tanggung jawab, dan umat kembali dikhianati.

Lalu ke mana harapan rakyat? Ke mana arah perjuangan umat?

Jawabannya ada pada kesadaran politik masyarakat. Pemilih harus berhenti menjual suara dan mulai menilai calon dari integritas, rekam jejak, dan keberpihakannya pada kepentingan publik. Tokoh agama dan pemuda juga harus bersuara, tidak hanya menjelang pemilu, tapi sepanjang waktu—mengingatkan bahwa memilih pemimpin bukan soal siapa yang memberi paling banyak, tapi siapa yang paling layak dipercaya.

Kepada penyelenggara pemilu dan penegak hukum, sudah saatnya tindakan tegas diambil terhadap praktik money politik, baik yang dilakukan oleh calon kepala daerah, maupun oleh oknum tim sukses yang bermain di balik layar.

Demokrasi yang sehat tak bisa lahir dari transaksi. Jika umat ingin perubahan yang nyata, maka proses menuju kepemimpinan pun harus bersih dan bermartabat. Pemimpin yang lahir dari uang akan memimpin demi uang. Tapi pemimpin yang lahir dari perjuangan, akan memimpin demi kebaikan umat.