Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Musibah Banjir dan Refleksi Kehidupan Manusia

Jumat, 11 April 2025 | 23:22 WIB Last Updated 2025-04-11T16:22:27Z



Musibah Banjir dan Refleksi Kehidupan Manusia


Oleh: azhari 


Setiap kali air meluap dari sungai, merendam sawah dan pemukiman, kita menyebutnya musibah. Banjir bukan lagi peristiwa langka. Di negeri ini, ia telah menjadi rutinitas tahunan yang menyedihkan. Namun, di balik genangan dan kehancuran, banjir sebetulnya adalah panggilan untuk merefleksikan ulang kehidupan: cara kita hidup, cara kita memperlakukan alam, dan cara kita memperlakukan sesama manusia.


Manusia dan Alam: Relasi yang Retak


Sejatinya, alam tidak pernah bersalah. Bumi ini memiliki sistem keseimbangan yang luar biasa. Hutan berfungsi menyerap air, sungai mengalirkan kelebihan, dan rawa menampung limpahan. Tetapi manusia, dalam kerakusannya, mengganggu tatanan itu. Hutan digunduli atas nama pembangunan. Rawa-rawa dikeringkan demi properti. Sungai disempitkan untuk pelebaran jalan. Maka ketika hujan turun lebih deras dari biasanya, bumi tak lagi mampu menampungnya. Air mengamuk, bukan karena ia jahat, tetapi karena ia sudah tak punya tempat kembali.



Banjir adalah akibat, bukan sebab. Ia adalah alarm dari alam yang telah terlalu lama diabaikan. Namun sering kali kita membalikkannya: menyalahkan cuaca, menyalahkan nasib, menyalahkan siapa saja kecuali diri sendiri.


Ketika Kehidupan Direduksi Menjadi Bertahan


Tak ada yang lebih menggugah hati selain melihat seseorang berdiri di tengah rumah yang tergenang air. Di tangannya hanya tas kecil berisi dokumen penting. Di belakangnya, lemari, kasur, kulkas—semua tenggelam. Dalam hitungan jam, hasil kerja bertahun-tahun lenyap begitu saja. Inilah momen ketika hidup tidak lagi tentang cita-cita, tapi semata tentang bertahan.


Musibah banjir menggiring manusia untuk menanggalkan egonya. Tak ada lagi yang bisa disombongkan. Gelar akademik, jabatan di kantor, bahkan pengaruh politik, tidak berarti di tengah arus air yang kotor dan deras. Yang tersisa hanyalah tubuh yang menggigil dan harapan yang tersisa.

Namun justru dalam keterbatasan itulah kita menemukan nilai sejati kehidupan. Musibah menyadarkan kita bahwa rumah terindah bukanlah istana megah, tetapi tempat yang kering, aman, dan damai. Bahwa makanan terenak bukanlah yang mewah, tetapi yang bisa mengisi perut dalam masa darurat. Dan bahwa keluarga, sahabat, serta tetangga adalah harta yang tak ternilai saat semuanya runtuh.


Dari Genangan Lahir Solidaritas


Banjir memaksa manusia keluar dari zona individualisme. Ketika rumah kita kering, dan rumah tetangga kebanjiran, maka tanggung jawab kemanusiaan kita diuji. Kita belajar memberi, menolong, dan berbagi. Di pengungsian, orang-orang tidur berdempetan tanpa mengenal status sosial. Mereka makan dari piring yang sama, berbagi tikar, dan saling menjaga anak satu sama lain.


Di tengah genangan, manusia menjadi manusia. Ia berhenti menjadi robot ekonomi atau alat politik. Ia kembali menjadi makhluk sosial yang saling peduli, yang tergerak oleh penderitaan orang lain. Barangkali inilah fungsi sosial musibah: menggugah sisi kemanusiaan yang selama ini tertimbun oleh ego dan kesibukan.


Sayangnya, solidaritas ini sering kali hanya berlangsung selama bencana. Begitu air surut dan kehidupan kembali normal, kita kembali pada sekat-sekat lama. Kita kembali egois, kembali serakah, dan kembali membangun kehidupan tanpa kesadaran ekologis.


Musibah dan Spiritualitas


Dalam banyak tradisi keagamaan, musibah dianggap sebagai ujian, bahkan teguran. Ia bukan kutukan, tetapi kesempatan untuk bertobat, merenung, dan memperbaiki diri. Air yang datang dengan kekuatan merusak itu juga membawa pesan: bahwa hidup ini fana, dan bahwa segala yang kita miliki bisa lenyap kapan saja.


Refleksi spiritual dari banjir adalah kesadaran akan ketergantungan manusia pada Tuhan dan alam. Bahwa sekeras apapun kita bekerja, sekuat apapun rumah kita dibangun, ada kekuatan yang lebih besar yang bisa menggugurkan semuanya dalam semalam. Ini bukan fatalisme, tapi pengingat agar kita tidak pongah, agar kita hidup dengan bijak dan bersyukur.


Musibah juga mengajarkan tentang kesabaran dan keikhlasan. Tidak mudah kehilangan rumah, tidak mudah hidup di pengungsian, tidak mudah memulai dari nol. Tapi di sanalah jiwa ditempa. Banjir bukan hanya menghanyutkan benda, tetapi juga menggugurkan kesombongan dan menyuburkan ketabahan.


Haruskah Kita Menunggu Banjir Berikutnya?


Kita tahu bahwa banjir tidak datang tiba-tiba. Ia bisa dicegah, atau setidaknya diminimalisir. Tapi mengapa kita selalu terlambat? Mengapa kita membangun tanpa izin, membuang sampah sembarangan, membiarkan daerah resapan berubah jadi pusat belanja? Jawabannya sederhana: karena kita tak benar-benar belajar dari bencana sebelumnya.


Refleksi sejati bukan hanya merenung, tetapi juga bertindak. Sudah waktunya kita meninjau ulang pola hidup kita, tata kota kita, dan kebijakan publik kita. Pemerintah harus lebih tegas dalam menjaga lingkungan. Rakyat harus lebih sadar dalam menjaga kebersihan dan keasrian sekitarnya. Sekolah-sekolah harus memasukkan pendidikan ekologi ke dalam kurikulum. Media harus lebih aktif mengkampanyekan kesadaran lingkungan.


Musibah banjir bukan takdir yang tak bisa diubah. Ia bisa dicegah, jika kita mau belajar. Tapi jika kita terus menunda, maka banjir berikutnya bukan hanya akan lebih besar, tetapi juga lebih menyakitkan.


Penutup

Musibah banjir adalah luka, tapi juga pelajaran. Ia menghancurkan, tapi juga membentuk. Ia menghapus harta benda, tapi juga menghidupkan hati. Yang terpenting, ia memberi kita kesempatan untuk berubah: menjadi manusia yang lebih bijak, lebih peduli, dan lebih bersyukur.

Kita tak bisa menolak hujan, tapi kita bisa belajar hidup selaras dengannya. Kita tak bisa melarang air mengalir, tapi kita bisa menata ulang hidup agar tidak bertentangan dengan alam. Jika kita gagal belajar hari ini, maka kita hanya sedang menunggu giliran untuk menjadi korban selanjutnya.