Tidak semua janda ingin disalahkan. Tidak semua janda harus dikasihani. Tapi mari bicara soal satu spesies langka di alam perceraian: oknum janda. Sosok yang menjadikan status "sendiri" sebagai alat, bukan proses. Sebagai senjata, bukan pelajaran.
Begitu surat cerai turun, mulailah episode baru: "Perempuan Merdeka, Season 2". Feed Instagram berubah drastis. Caption berbunga-bunga: "Perempuan kuat tak takut sendiri." Hashtag bertaburan: #StrongWoman #SingleMomVibes #HealingIsComing — padahal niatnya lebih ke pancingan, bukan penyembuhan.
Oknum janda ini bukan sedang menyembuhkan luka, tapi sedang menyusun agenda.
Kadang ingin tampak sedih agar disayang, kadang ingin tampak kuat agar dikagumi. Status "janda" dipoles sedemikian rupa agar jadi alat tarik simpati atau bahkan bahan promosi.
Ada yang menjual luka sebagai konten. Setiap air mata diubah jadi TikTok, setiap keluh kesah jadi status galau. Padahal, siapa tahu air matanya bukan untuk mantan suami—tapi untuk peluang yang gagal ditangkap.
Lalu datanglah fase perburuan:
"Diajak ngopi dulu, nanti pelan-pelan diseduh hatinya."
Tidak semua, tapi oknum janda tertentu tahu bagaimana menyamarkan luka jadi magnet. Dan ketika ada pria datang, ia diuji: layak atau tidak menjadi pelarian, bukan pasangan.
Anak?
Kadang hanya muncul di caption. "Untuk kamu, aku akan kuat." Padahal yang diurus lebih sering ponsel ketimbang PR sekolah.
Kita harus jujur. Status janda bukanlah aib. Tapi ketika luka dijadikan komoditas, ketika perpisahan dijadikan narasi penuh drama demi engagement, maka kita tidak lagi bicara soal korban—tapi soal panggung.
Oknum janda bukan gagal dalam pernikahan. Ia gagal dalam bercerai dengan bermartabat.