Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pandangan Masyarakat Luar Negeri terhadap Aceh: Dulu , Kini

Jumat, 18 April 2025 | 18:55 WIB Last Updated 2025-04-18T12:02:29Z






Aceh adalah nama yang besar dalam sejarah dunia. Ia bukan hanya dikenal oleh rakyatnya sendiri, tetapi oleh bangsa-bangsa dari Timur hingga Barat. Dulu, nama Aceh disebut dalam seminar keilmuan di Kairo, ditulis dalam laporan perjalanan bangsa Eropa, dan disegani oleh kekhalifahan Utsmani. Tapi hari ini, dunia memandang Aceh dengan rasa penasaran yang bercampur prihatin: mengapa negeri yang dulu menjadi pelita kini redup dalam gelap?

Dahulu: Aceh yang Dihormati dan Dipelajari

Dalam catatan sejarah, Aceh adalah sebuah kerajaan maritim yang berdaulat penuh dan menjadi pusat keilmuan serta diplomasi Islam. Para pelaut Portugis, Belanda, dan Inggris yang datang ke Asia selalu menyebut Aceh sebagai negeri tangguh dan religius. Mereka menyaksikan istana, dayah, dan pelabuhan yang aktif berdagang hingga ke Timur Tengah dan India.

Sultan Iskandar Muda dikenal sebagai salah satu penguasa terkuat di Asia Tenggara. Di masanya, Aceh menjalin hubungan resmi dengan Turki Utsmani dan menjelma menjadi benteng Islam yang tak tergoyahkan. Para penulis seperti François Valentijn mencatat kekaguman terhadap strategi militer dan keilmuan rakyat Aceh yang tak hanya mengandalkan kekuatan, tetapi juga akal dan agama.

Sementara itu, dari dunia Timur, ulama-ulama besar dari Makkah dan Madinah memuji kehadiran santri-santri asal Aceh yang rajin menulis kitab dan belajar hadis. Mereka bukan pelajar biasa—mereka adalah penyambung lidah peradaban Melayu Islam. Di Haramain, Aceh dikenal sebagai negeri yang "berilmu sebelum bertanya."

Kini: Aceh yang Diingat karena Luka, Bukan Kejayaan

Waktu bergerak. Dunia berubah. Dan pandangan luar terhadap Aceh pun tak lagi secerah dahulu.

Hari ini, Aceh dikenal dunia karena dua hal: tsunami 2004 dan konflik panjang antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia. Pandangan internasional tentang Aceh kini lebih banyak terfokus pada trauma, pemulihan, dan transformasi politik pasca-perdamaian. Berita tentang Aceh muncul ketika ada bencana, pelanggaran hak perempuan, atau isu kontroversial tentang pelaksanaan syariat Islam.

Lembaga-lembaga dunia masih datang ke Aceh, tapi lebih sebagai pengamat sosial atau mitra rehabilitasi. Tak banyak lagi yang datang untuk belajar kebudayaan, sastra, atau peradaban Aceh. Tak ada lagi diskusi besar tentang kontribusi intelektual Aceh bagi dunia Islam. Yang tersisa hanyalah tanya: apa yang terjadi dengan negeri yang pernah memimpin, kini justru tercecer di antara ketidakpastian?

Pandangan Akademik: Dari Kekaguman menjadi Kekhawatiran

Dalam dunia akademik internasional, Aceh masih dikaji. Tapi fokusnya telah bergeser. Di kampus-kampus besar seperti SOAS London, Leiden, atau National University of Singapore, pembahasan tentang Aceh banyak berkisar pada studi pasca-konflik, pengelolaan bantuan pasca-tsunami, dan tantangan demokratisasi daerah otonomi khusus. Diskusi-diskusi besar tentang sumbangsih intelektual Aceh kini digantikan oleh diskusi tentang kegagalan birokrasi, korupsi lokal, dan kebijakan hukum yang problematik.

Dalam beberapa jurnal, para peneliti luar mempertanyakan: mengapa Aceh tidak tumbuh secepat harapan setelah perdamaian? Mengapa angka kemiskinan masih tinggi, sementara dana otsus mengalir deras? Di mana peran dayah dan ulama dalam membentuk arah moral pembangunan? Mengapa budaya luhur Aceh tidak menjadi fondasi kemajuan?

Pandangan mereka, tentu, bukan untuk menghina. Tapi menunjukkan bahwa dunia masih peduli. Sayangnya, kita sendiri kadang lupa untuk merawat kehormatan itu.

Menjawab Dunia: Bukan dengan Retorika, Tapi Tindakan

Untuk menjawab pandangan luar yang kini mulai penuh tanda tanya, Aceh tidak cukup dengan slogan dan seremoni. Dunia tidak menanti Aceh sebagai tanah konflik atau bencana yang abadi. Dunia menanti Aceh sebagai negeri yang kembali menemukan jati dirinya—sebagai pemilik warisan besar, dan penerus peradaban yang agung.

Langkah-langkah konkret harus diambil:

  • Revitalisasi pendidikan berbasis sejarah dan kebudayaan lokal.
  • Membangun kembali daya saing intelektual Aceh di ranah global.
  • Memperkuat diplomasi kebudayaan dan beasiswa luar negeri untuk pelajar Aceh.
  • Membangun citra baru Aceh di mata dunia, dengan menyatukan kearifan lokal dan inovasi masa kini.
  • Melibatkan ulama dan cendekiawan sebagai poros pembangunan, bukan hanya tokoh politik.

Kita Bisa Menjadi Lagi Negeri yang Dihormati

Dunia belum benar-benar lupa. Dunia masih melihat ke Aceh—meski mungkin dari kejauhan, dengan rindu yang perlahan berubah jadi tanya. Apakah Aceh masih seperti dulu? Apakah anak cucu para syuhada masih menjaga semangat nenek moyangnya? Apakah tanah Serambi Mekkah masih mampu menjadi jendela Islam yang terbuka dan berwibawa?

Semua tergantung pada kita. Pada rakyat, pemimpin, ulama, dan pemuda. Kita bisa menjadi lagi negeri yang dihormati, jika kita sendiri menghormati diri kita terlebih dahulu.

Karena Aceh yang besar bukan hanya milik masa lalu. Ia bisa—dan harus—menjadi masa depan yang kembali dipandang dunia dengan rasa bangga.