Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pemikiran Oknum Duda Pasca Perceraian: Menata Hidup, Menyusun Arah Baru

Jumat, 11 April 2025 | 20:30 WIB Last Updated 2025-04-11T13:30:45Z



Perceraian bukan akhir dari segalanya, tapi juga bukan perkara sederhana. Saat seorang pria resmi menyandang status duda, ia membawa lebih dari sekadar dokumen putusan pengadilan—ia membawa luka, ego, rasa gagal, dan sering kali juga pertanyaan tentang masa depan.

Namun menarik jika kita menelusuri pola pikir oknum duda—yakni sosok yang setelah perceraian justru mengalami pergolakan batin dan arah hidup yang tak selalu mapan. Ada yang memilih bangkit, ada pula yang justru tenggelam dalam euforia kebebasan yang semu.

Pasca perceraian, seorang duda biasanya terbelah antara dua pilihan besar: menata hidup dengan tenang atau menyusun skenario pembuktian ego.

Sebagian mencoba memperbaiki diri. Mereka fokus pada karier, mendekatkan diri pada anak-anak, memperdalam spiritualitas, dan belajar dari kesalahan pernikahan sebelumnya. Ini jenis pria yang sadar bahwa rumah tangga bisa gagal, tapi hidup tak boleh ikut hancur.

Namun ada pula oknum duda yang pikirannya justru melenceng. Mereka merasa bebas, merasa kembali muda, merasa dunia terbuka lebar. Media sosial jadi panggung, gaya hidup kembali liar, dan relasi-relasi baru dibangun tanpa arah. Di sinilah banyak jebakan: mempermainkan perempuan dengan kedok trauma masa lalu, berkelit dari tanggung jawab anak, atau merasa tak perlu lagi punya arah tetap.

Padahal, jika direnungkan dalam-dalam, peran duda bukanlah lisensi untuk hidup semaunya. Apalagi jika sebelumnya ia adalah kepala rumah tangga yang gagal menjaga bahtera. Justru di fase ini, seharusnya lahir kesadaran dan pertobatan—bukan pembenaran.

Menjadi duda bukanlah aib, tetapi apa yang dilakukan setelahnya menentukan apakah dia seorang pria yang matang atau hanya laki-laki yang terlambat dewasa.

Kita butuh lebih banyak duda yang berpikir jernih: bahwa perceraian adalah evaluasi, bukan tiket pelarian. Bahwa anak-anak tetap butuh figur ayah yang utuh, bukan hanya lewat nafkah, tapi juga keteladanan.

Karena pada akhirnya, hidup pasca perceraian hanyalah bab baru dalam buku panjang. Terserah kita mau menulisnya sebagai kisah kebangkitan—atau sebagai pengulangan luka yang sama.