Di tanah rencong, permainan anak-anak dulunya bukan sekadar hiburan. Ia adalah jembatan sosial, ruang belajar, dan alat pelestarian nilai-nilai adat dan agama. Sayangnya, seiring zaman bergulir dan arus globalisasi mengalir deras, banyak permainan masa lalu dalam masyarakat Aceh yang mulai hilang atau bahkan tak dikenal oleh generasi sekarang.
Permainan masa kecil dulunya hadir di halaman meunasah, di pelataran rumah, di sawah setelah panen, atau di jalanan kampung yang lengang. Di sanalah anak-anak Aceh dulu bersenda gurau, tertawa lepas tanpa gawai dan layar digital. Namun kini, permainan-permainan itu hanya hidup dalam ingatan orang tua, atau terselip dalam cerita-cerita nostalgia.
1. Dado Kaki (Benteng Lari)
Permainan ini melatih kelincahan dan kecepatan. Dua kelompok saling mengejar dan mempertahankan “benteng”. Bentuknya bisa sesederhana batu besar atau batang pohon. Dulu dimainkan selepas magrib, kini nyaris tak terlihat.
2. Cila-Cila
Sejenis permainan petak umpet khas Aceh, dengan aturan tertentu seperti menyebut nama pemain saat ketahuan. Anak-anak belajar keberanian dan kecepatan berpikir, sambil menyatu dengan alam sekitar.
3. Gasing Aceh
Gasing dari kayu keras seperti pohon waru atau kelapa, diputar dengan tali kuat. Di beberapa daerah Aceh, ini bahkan menjadi ajang lomba saat kenduri atau hari besar. Kini, tinggal dijadikan pajangan atau souvenir.
4. Boh Gaca (Kelereng)
Anak-anak lelaki Aceh dulu ahli main kelereng. Mereka tanding strategi dan akurasi, bahkan kadang bertaruh kelereng. Kini, permainan ini kalah oleh game online dan YouTube.
5. Eungkot-Eungkot
Permainan ini unik. Anak-anak berdiri membentuk lingkaran dan satu orang di tengah menjadi “ikan” yang harus lepas dari “jala”. Ini permainan sosial yang mengajarkan kekompakan dan kegembiraan bersama.
6. Leumpah tali (Lompat tali dari getah)
Biasanya dimainkan anak perempuan. Getah dari ban bekas atau karet gelang disusun jadi tali panjang. Semakin tinggi loncatan, semakin hebat pemainnya.
7. Cok-Dam
Permainan sejenis dam-daman, biasa digambar di tanah atau papan kayu. Butuh strategi dan konsentrasi tinggi. Anak-anak laki-laki dulu memainkannya berjam-jam tanpa bosan.
Mengapa Permainan Ini Hilang?
Ada beberapa sebab:
- Tekanan budaya luar dan digitalisasi: Gadget kini jadi teman bermain utama anak-anak.
- Perubahan ruang sosial: Dulu ada halaman luas, kini diganti beton dan pagar tinggi.
- Perubahan cara orang tua mendidik: Orang tua sekarang lebih senang anaknya diam di rumah, daripada main di luar.
- Tidak ada regenerasi budaya: Permainan lama tak diwariskan lagi. Bahkan guru di sekolah pun tak mengenalkannya.
Apa yang Kita Kehilangan?
Lebih dari sekadar hiburan, permainan tradisional Aceh sarat nilai:
- Kebersamaan dan kerja tim
- Nilai sportifitas dan kejujuran
- Ketahanan fisik dan sosial
- Warisan bahasa dan budaya lokal
Jika permainan ini punah, maka punah pula satu bagian penting dari identitas budaya Aceh yang hidup di akar rumput.
Saatnya Menghidupkan Kembali
Sekolah, dayah, komunitas, hingga pemerintah desa punya peran untuk menghidupkan kembali permainan tradisional Aceh. Tak perlu anggaran besar, cukup kemauan dan kesadaran. Bukan hanya untuk nostalgia, tapi sebagai bentuk ketahanan budaya di tengah zaman yang makin asing bagi akar kita sendiri.