Aceh dikenal sebagai provinsi yang menjunjung tinggi nilai agama dan adat. Namun, di balik kekhususan syariat itu, kini mengintai ancaman senyap bernama prostitusi online. Praktik ini tidak tampak di jalanan, tetapi beroperasi di balik layar gawai, melalui media sosial, aplikasi pesan, hingga platform live streaming. Modusnya beragam: dari kedok jasa pijat hingga konten berbayar yang bersifat eksplisit.
Fenomena ini telah merambah ke berbagai daerah di Aceh. Penangkapan demi penangkapan dilakukan, namun belum menyentuh akar persoalan. Dalam banyak kasus, pelakunya adalah remaja atau perempuan muda yang terdesak oleh kebutuhan ekonomi, minim pendidikan agama, dan kehilangan arah dalam hidup. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga sinyal adanya krisis sosial.
Mengapa Ini Bisa Terjadi di Aceh?
Aceh tidak kebal dari dinamika sosial dan digital nasional. Beberapa faktor utama yang mendorong prostitusi online antara lain:
- Kemiskinan dan tekanan ekonomi, terutama pasca pandemi, membuat sebagian anak muda mencari jalan pintas untuk mendapat uang cepat.
- Keretakan keluarga dan kurangnya pendidikan moral menyebabkan sebagian besar pelaku tumbuh tanpa bimbingan.
- Literasi digital yang rendah, di mana anak-anak menggunakan teknologi tanpa bimbingan nilai dan etika.
- Budaya malu yang mulai luntur, digantikan dengan kebanggaan semu atas popularitas di dunia maya.
Perlu Solusi Bersama, Bukan Sekadar Razia
Penanganan prostitusi online tidak bisa dilakukan dengan pendekatan tunggal. Dibutuhkan solusi menyeluruh dan kolaboratif dari berbagai elemen:
1. Penegakan hukum yang adaptif
Qanun Jinayah harus dikembangkan dengan perangkat digital. Aparat penegak hukum syariat perlu dilatih menghadapi kejahatan siber agar bisa menindak tanpa melanggar hukum. Tak hanya menangkap pelaku di hotel, tapi juga membongkar jaringan dan jejak digitalnya.
2. Peran adat yang direvitalisasi
Dahulu, adat menjaga malu dan marwah. Kini saatnya tuha peut, imuem gampong, dan tokoh adat diberdayakan kembali untuk menjadi agen penyuluh moral dan digital. Edukasi berbasis adat bisa menjadi benteng pertama sebelum intervensi hukum.
3. Pendidikan etika digital dan seksual Islami
Sekolah, dayah, dan majelis taklim perlu membuka ruang edukasi yang relevan dengan tantangan zaman. Anak-anak harus diajarkan tentang batasan aurat, kehormatan diri, serta bahayanya eksploitasi digital—dengan pendekatan Islam yang bijak dan komunikatif.
4. Pendampingan dan pemberdayaan korban
Banyak pelaku sesungguhnya adalah korban. Maka pendekatannya bukan hanya hukum, tapi juga sosial. Pemerintah daerah dan LSM perlu membuka pusat rehabilitasi dan pelatihan kerja untuk mereka yang ingin keluar dari lingkaran prostitusi.
Mari Bergerak Bersama
Prostitusi online di Aceh adalah ancaman senyap yang tidak boleh dibiarkan. Ini bukan semata-mata masalah moral pribadi, tapi juga cerminan dari sistem sosial yang sedang melemah.
Jika adat diam, jika hukum tertinggal oleh teknologi, jika pendidikan gagal menyentuh hati generasi—maka Aceh akan kehilangan bukan hanya wajah syariatnya, tapi juga arah peradabannya.
Mari kita bergerak bersama. Mulai dari rumah, gampong, sekolah, hingga ruang digital. Mari jaga perempuan Aceh dari eksploitasi yang tersembunyi tapi nyata. Mari kembalikan marwah Aceh, bukan hanya dengan cambuk dan qanun, tapi juga dengan kasih sayang, pendidikan, dan solidaritas sosial.
Karena menjaga akhlak generasi, adalah menjaga masa depan negeri.
Penulis Azhari