Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pusaka Aceh yang Hilang Tanpa Bekas: Di Ambang Lupa, Di Ujung Harapan

Selasa, 08 April 2025 | 01:31 WIB Last Updated 2025-04-08T05:16:01Z




Oleh: azhari 

Aceh bukan sekadar nama sebuah daerah. Ia adalah tapak kaki sejarah, rumah bagi peradaban Islam tertua di Nusantara, dan tempat berdirinya kerajaan-kerajaan besar yang pernah disegani dunia. Namun, kejayaan tidak selalu diwarisi—kadang hanya dikenang. Dan di sinilah kita berdiri hari ini: mewarisi tanahnya, tapi melupakan pusaka tak kasat matanya.


Pusaka yang Tidak Lagi Dicari

Saat kita menyebut "pusaka", banyak yang berpikir pada benda: rencong, songket, lukisan indatu, atau rumah adat. Namun pusaka Aceh yang paling berharga justru yang tak tampak: nilai-nilai hidup, bahasa, adat, etika, kearifan lokal, dan spiritualitas masyarakatnya.

Pusaka itu kini mulai kabur, bukan karena dirampas, tapi karena tidak diwariskan dengan utuh, atau tidak diterima dengan penuh kesadaran. Rumah-rumah kehilangan tradisi. Meunasah kehilangan peran. Anak muda kehilangan arah.


Opini yang Berkembang: Antara Kesadaran dan Ketidakpedulian

Sebagian masyarakat mulai sadar bahwa kita sedang kehilangan jati diri. Muncul gerakan kembali ke adat, ke bahasa, ke nilai-nilai tradisi Aceh. Tapi sayangnya, kesadaran ini masih kalah oleh arus pragmatisme hidup dan gempuran budaya luar.

Sebagian lainnya justru melihat adat dan budaya Aceh sebagai beban. Mereka beranggapan bahwa mempertahankan tradisi adalah penghambat kemajuan. Budaya dianggap kuno, adat dianggap konservatif, dan identitas dilihat sebagai batas.

Di ruang-ruang diskusi kampus, warung kopi, hingga forum media sosial, terjadi benturan narasi antara:

  • Mereka yang ingin mempertahankan nilai budaya lokal sebagai fondasi membangun masa depan,
  • Dan mereka yang memilih modernisasi total dengan meninggalkan adat sebagai "masa lalu yang usang."

Era Digital dan Pemutusan Akar

Zaman digital telah mengubah cara hidup generasi muda.
Kita bukan anti teknologi, tapi tanpa kendali dan kesadaran, digitalisasi telah menjadi pisau pemotong akar budaya.

Anak-anak lebih fasih bahasa asing daripada bahasa Aceh.
Nasihat indatu tergantikan oleh konten motivasi TikTok.
Doa sebelum tidur tergantikan notifikasi dari YouTube.

Budaya Aceh yang sakral menjadi tak relevan di mata anak muda yang dibesarkan tanpa narasi lokal.


Pusaka yang Harusnya Menjadi Fondasi, Kini Hanya Dekorasi

Coba kita tanya: berapa banyak dari kita yang masih mengajarkan anaknya menyapa dengan sopan, menunduk di depan orang tua, atau mendengar kisah hikayat Peureulak?
Kita sibuk mempercantik rumah dengan hiasan Aceh, tapi lupa menghias hati anak-anak dengan nilai-nilai Aceh.
Kita mencetak kalender syariat, tapi lupa mendidik akhlak dengan cinta dan kesabaran seperti kakek-nenek kita dulu.


Membangkitkan yang Hampir Hilang

Masih ada harapan. Tapi harapan tidak datang sendiri. Ia perlu diundang, disiapkan ruangnya.
Langkah-langkah ini bisa menjadi titik balik:

  1. Integrasi budaya lokal dalam pendidikan formal dan informal.
  2. Penguatan komunitas adat dan bahasa melalui media digital yang ramah anak muda.
  3. Revitalisasi meunasah sebagai pusat peradaban kecil—tempat belajar agama, adat, dan sosial.
  4. Melibatkan pemuda dalam proyek kebudayaan, bukan hanya proyek infrastruktur.
  5. Memberi panggung pada tokoh adat dan tetua kampung untuk kembali dihormati sebagai penjaga nilai.

Penutup: Kalau Kita Tidak Menjaga, Siapa Lagi?

Pusaka Aceh bukanlah milik masa lalu, tapi warisan untuk masa depan.
Jika generasi kita lalai, maka anak-anak kita kelak tidak akan tahu cara mencintai Aceh—karena Aceh yang mereka kenal hanya peta, bukan rasa.

Pusaka Aceh tidak akan dijarah oleh bangsa lain. Ia akan hilang karena kita sendiri tak lagi peduli.

Maka saat ini, mari kita jujur pada diri:
Apakah kita sedang menjaga warisan, atau justru sedang membiarkan akar kita layu?

Sebelum semuanya hilang tanpa bekas, mari kita kembali merawat apa yang membuat kita Aceh: nilai, adat, marwah, dan pusaka jiwa.