Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Contoh Qanun Digital: Menjaga Martabat Aceh di Era Sosial Media dan Teknologi hingga kajian Akademik

Jumat, 18 April 2025 | 19:34 WIB Last Updated 2025-04-18T12:41:59Z

Di zaman ketika batas ruang tak lagi fisik dan identitas bisa berubah dalam satu klik, hukum lokal seperti qanun ditantang untuk tidak sekadar hadir di atas kertas. Qanun harus bisa menjangkau dunia digital yang terus bergerak, agar martabat Aceh tetap terjaga—bukan hanya di dunia nyata, tapi juga di layar-layar kecil yang kini mengendalikan arah hidup generasi muda.

Qanun di Tengah Gelombang Digitalisasi

Sejak lahirnya Qanun Jinayat, Qanun Keluarga Islam, hingga Qanun Lembaga Keuangan Syariah, Aceh telah membuktikan bahwa ia mampu berdiri dengan payung hukum otonomi yang kuat. Namun hari ini, masyarakat Aceh tidak hanya hidup di kampung atau gampong, melainkan juga hidup di TikTok, Instagram, YouTube, dan WhatsApp Group.

Di sana, nilai dan norma bisa luntur dalam sekejap. Konten yang mempertontonkan aurat, pelecehan simbol agama, bahkan transaksi haram, bisa dengan mudah menyusup lewat ponsel anak-anak muda Aceh.

Di titik ini, muncul pertanyaan besar: di mana posisi qanun dalam menghadapi fenomena digital?

Ketiadaan Regulasi Digital: Celah yang Menganga

Sejauh ini, qanun masih dominan mengatur ruang fisik—pelanggaran khalwat, judi, minuman keras, dan zina yang tertangkap secara langsung. Tapi bagaimana dengan cyber khalwat, cyber zina, atau konten yang melecehkan nilai adat dan syariat Aceh di media sosial?

Kasus demi kasus muncul: remaja Aceh yang membuat konten joget vulgar, akun palsu yang menyebar hoaks atas nama dayah, hingga influencer lokal yang mempromosikan gaya hidup hedon tak sesuai nilai Islam. Sayangnya, semua ini belum disentuh secara eksplisit oleh qanun.

Tanpa qanun digital, ruang publik daring menjadi zona abu-abu. Aceh tampak kuat di dunia nyata, tapi rapuh di dunia maya.

Membutuhkan Qanun Digital: Apa yang Bisa Dilakukan?

Untuk menjawab tantangan ini, Aceh harus segera merancang dan memperkuat qanun yang relevan dengan era digital, dengan pendekatan sebagai berikut:

  1. Qanun Etika Digital Islami

    • Mengatur norma bermedia sosial bagi warga Aceh.
    • Memberi sanksi sosial/administratif bagi konten yang menyinggung syariat atau adat Aceh.
  2. Qanun Literasi Digital Syariah

    • Mendorong pelatihan dan kurikulum literasi digital berbasis nilai Islam dan adat.
    • Wajib diterapkan di sekolah, dayah, dan lembaga pemerintah.
  3. Qanun Cyber Jinayat

    • Memperluas hukum pidana syariat ke ranah daring: zina online, konten syur, penghinaan agama, transaksi haram via media sosial.
  4. Lembaga Patroli Siber Syariat

    • Unit khusus dalam Dinas Syariat Islam atau MPU yang bertugas memantau, mendidik, dan menindak pelanggaran digital dengan pendekatan persuasif dan restoratif.

Mengapa Penting?

Karena generasi muda Aceh hari ini tidak lagi menatap dunia dari jendela meunasah atau warung kopi. Mereka menatap dunia dari layar 6 inci yang penuh distraksi. Jika hukum tidak menjangkaunya, maka ruang itu akan direbut oleh budaya lain—yang bisa menggantikan adat, menistakan syariat, dan memudarkan jati diri Aceh.

Penutup: Digitalisasi Harus Dituntun, Bukan Dibiarkan

Qanun bukan sekadar alat hukuman. Ia adalah panduan hidup. Di era digital, Aceh tidak boleh hanya menjadi penjaga moral di darat, tapi juga penjaga etika di dunia maya. Jangan sampai Aceh yang dikenal karena qanun dan syariatnya, justru kehilangan wajahnya di platform digital.

Qanun digital bukan pilihan—ia adalah keharusan. Dan momentum terbaik untuk merumuskannya adalah sekarang, sebelum generasi Aceh kehilangan arah di dunia yang makin tak berbatas.



Berikut adalah contoh draf awal Rancangan Qanun (RaQan) Aceh tentang Etika Digital Islami, yang bisa dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan formal oleh DPR Aceh atau tim penyusun kebijakan:


RANCANGAN QANUN ACEH

TENTANG ETIKA DIGITAL ISLAMI

Nomor: ... Tahun ....

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH, setelah:

Menimbang:

  • bahwa perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah memengaruhi perilaku sosial masyarakat Aceh, termasuk dalam penggunaan media digital yang kerap bertentangan dengan nilai-nilai syariat Islam dan adat istiadat Aceh;
  • bahwa Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam wajib membina masyarakat dalam menggunakan media digital secara etis, bertanggung jawab, dan sesuai dengan nilai-nilai keislaman;
  • bahwa diperlukan qanun yang mengatur etika digital Islami sebagai landasan normatif, edukatif, dan preventif dalam menjaga martabat dan peradaban digital masyarakat Aceh.

Mengingat:

  • UUD 1945 Pasal 18B ayat (1)
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh
  • Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2014 tentang Pokok-Pokok Syariat Islam
  • Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

Dengan Persetujuan Bersama
GUBERNUR ACEH dan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT ACEH
Menetapkan:


BAB I: KETENTUAN UMUM

Pasal 1 Dalam qanun ini yang dimaksud dengan:

  1. Etika Digital Islami adalah norma, kaidah, dan prinsip bermedia digital yang sesuai dengan ajaran Islam dan adat Aceh.
  2. Media Digital mencakup media sosial, platform berbasis internet, aplikasi komunikasi, situs web, dan teknologi digital lainnya.
  3. Masyarakat Aceh adalah penduduk yang berdomisili di Aceh dan/atau memiliki identitas kependudukan Aceh.
  4. Konten Digital Islami adalah segala bentuk materi digital yang sesuai dengan nilai akidah, akhlak, dan hukum Islam.

BAB II: PRINSIP-PRINSIP ETIKA DIGITAL ISLAMI

Pasal 2 Prinsip utama dalam etika digital Islami meliputi: a. Kejujuran
b. Tanggung jawab
c. Kesopanan dan kesantunan
d. Menjaga kehormatan diri dan orang lain
e. Menghindari fitnah, hoaks, dan ghibah
f. Menolak pornografi dan konten amoral
g. Memuliakan ulama, adat, dan institusi Islam
h. Menggunakan media digital untuk dakwah, ilmu, dan kebaikan


BAB III: LARANGAN DALAM RUANG DIGITAL

Pasal 3 Setiap orang dilarang:

  1. Membuat, menyebarkan, atau mempublikasikan konten yang mengandung:

    • Ajaran menyimpang dari Islam
    • Pornografi, vulgaritas, aurat terbuka
    • Konten kekerasan atau penghinaan agama
    • Fitnah, hoaks, ujaran kebencian, atau ghibah
  2. Menggunakan identitas palsu atau anonim untuk menyerang pribadi, tokoh agama, atau lembaga adat/syariat.

  3. Mengunggah video/foto/tulisan yang bertentangan dengan norma syariat dan etika Aceh.


BAB IV: PEMBINAAN DAN EDUKASI

Pasal 4 (1) Pemerintah Aceh wajib melaksanakan edukasi etika digital Islami melalui:

  • Sekolah dan dayah
  • Khutbah, majelis taklim, dan media lokal
  • Pelatihan digital untuk remaja dan pemuda

(2) Pemerintah bekerja sama dengan MPU, Dinas Syariat Islam, Kominfo, dan tokoh masyarakat.


BAB V: PEMANTAUAN DAN PENGAWASAN

Pasal 5 (1) Dibentuk Lembaga Patroli Siber Syariat di bawah Dinas Syariat Islam.

(2) Tugas lembaga ini meliputi:

  • Memantau konten digital
  • Memberi teguran atau edukasi langsung
  • Berkoordinasi dengan aparat hukum jika terdapat pelanggaran berat

(3) Penindakan dilaksanakan secara persuasif, edukatif, dan sesuai prosedur hukum yang berlaku.


BAB VI: KETENTUAN PIDANA

Pasal 6 (1) Setiap pelanggaran berat terhadap ketentuan etika digital dapat dikenakan sanksi berdasarkan:

  • Qanun Jinayat, jika termasuk delik pidana syariat
  • Peraturan perundangan nasional (UU ITE)

(2) Untuk pelanggaran ringan, dapat dikenakan:

  • Sanksi sosial dan permintaan maaf terbuka
  • Wajib ikut pelatihan etika digital Islami
  • Blokir konten oleh Dinas terkait

BAB VII: KETENTUAN PENUTUP

Pasal 7 Qanun ini mulai berlaku setelah diundangkan.


Penjelasan Tambahan (Naskah Akademik):

  • Urgensi Qanun ini adalah untuk mencegah dekadensi moral di ruang digital.
  • Qanun ini bersifat preventif dan edukatif, bukan hanya represif.
  • Perlu sinergi tokoh agama, pendidik, influencer digital, dan pemerintah.



Baik! Berikut adalah kelanjutan lengkap dari draf Rancangan Qanun Etika Digital Islami, mencakup:


A. NASKAH AKADEMIK

1. Latar Belakang

Perkembangan teknologi informasi telah menciptakan ruang baru bagi masyarakat untuk berinteraksi. Sayangnya, tanpa bimbingan nilai dan hukum, ruang digital sering menjadi tempat suburnya konten negatif, termasuk bagi masyarakat Aceh. Aceh yang menjunjung tinggi syariat Islam belum memiliki regulasi yang eksplisit mengatur perilaku digital berdasarkan nilai Islam dan adat istiadat.

Qanun Etika Digital Islami bertujuan menjadi payung hukum yang bersifat preventif, edukatif, dan normatif, bukan semata-mata represif. Ia hadir untuk membina, bukan hanya menghukum.

2. Tujuan

  • Memberikan kerangka hukum dalam penggunaan media digital secara Islami.
  • Menjaga martabat Aceh di era digital.
  • Melindungi masyarakat dari konten destruktif dan dekadensi moral digital.

B. ARGUMENTASI FILOSOFIS

Qanun ini berpijak pada:

  • Nilai Islam, sebagai fondasi hidup masyarakat Aceh.
  • Keadilan sosial digital, di mana setiap pengguna media digital harus bertanggung jawab atas ucapannya.
  • Martabat manusia, yang harus dijaga baik di dunia nyata maupun dunia maya.

C. ARGUMENTASI YURIDIS

Dasar hukum Qanun Etika Digital Islami:

  • UUD 1945 Pasal 18B ayat (1): Pengakuan negara terhadap kekhususan dan keberagaman daerah.
  • UU No. 11 Tahun 2006 (UUPA): Memberi kewenangan kepada Aceh untuk membentuk qanun berdasarkan syariat.
  • Qanun Aceh No. 8 Tahun 2014: Tentang pokok-pokok syariat Islam.
  • Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014: Tentang hukum jinayat.
  • UU ITE No. 19 Tahun 2016: Sebagai pelengkap hukum nasional untuk pelanggaran digital.

Qanun ini tidak bertentangan dengan hukum nasional, melainkan melengkapi dan memperkuatnya dalam bingkai kekhususan Aceh.


D. ARGUMENTASI SOSIOLOGIS

Realitas sosial menunjukkan:

  • Maraknya konten media sosial dari Aceh yang vulgar dan menyimpang dari norma Islam.
  • Generasi muda terpapar konten global tanpa filter nilai lokal.
  • Lemahnya kontrol sosial di ruang maya.
  • Kebutuhan masyarakat akan aturan yang mendidik, bukan semata menghukum.

Qanun ini lahir sebagai jawaban terhadap kegelisahan sosial yang makin meluas.


E. STRUKTUR ORGANISASI PELAKSANA

  • MPU Aceh: Menjadi rujukan keislaman dalam konten dan edukasi.
  • Dinas Syariat Islam: Pelaksana utama edukasi dan pengawasan.
  • Dinas Kominfo: Bekerja sama untuk patroli siber dan teknis pemblokiran konten.
  • Kepolisian Syariah dan WH: Penindakan apabila pelanggaran berat ditemukan.
  • Lembaga Patroli Siber Syariat: Unit baru yang dibentuk untuk pengawasan harian.

F. PENUTUP: REKOMENDASI IMPLEMENTASI

  1. Sosialisasi qanun secara masif melalui media sosial, khutbah, sekolah, dan dayah.
  2. Pelatihan bagi pemuda, guru, dan konten kreator untuk melek digital Islami.
  3. Kolaborasi dengan influencer Aceh untuk menyebarkan nilai-nilai Islam di media sosial.
  4. Revisi dan sinkronisasi dengan Qanun Jinayat jika terjadi tumpang tindih norma pidana.

Penulis Azhari