Aceh bukan hanya sebuah daerah istimewa secara administratif, tetapi juga secara historis dan spiritual. Di tanah ini, hukum tidak hanya dimaknai sebagai peraturan perundang-undangan, tetapi juga sebagai warisan nilai dari leluhur, dari ulama, dan dari sultan-sultan masa lalu. Salah satu simbol agung dari sistem hukum tradisional Aceh adalah Qanun Meukuta Alam—sebuah naskah hukum kuno yang bukan hanya mengatur tata pemerintahan, tetapi juga menyatukan nilai Islam, adat, dan moralitas.
Kini, saat Aceh memasuki era modern dan bersentuhan langsung dengan tantangan zaman digital, pertanyaan penting muncul: masih relevankah Qanun Meukuta Alam? Ataukah ia hanya tinggal sebagai dokumen sejarah yang disimpan di rak museum dan seminar budaya?
Jawabannya tegas: Qanun Meukuta Alam bukan sekadar dokumen sejarah, tapi pondasi masa depan—asal kita mau menafsirkan dan mengembangkan nilainya dalam konteks kekinian.
Qanun Meukuta Alam: Kearifan Hukum yang Berakar
Qanun Meukuta Alam adalah sistem hukum adat yang menjadi panduan dalam Kesultanan Aceh Darussalam. Ia mengatur segalanya: mulai dari hukum pidana, ekonomi, lingkungan, tata pemerintahan, hingga urusan perempuan dan keluarga. Ia bukan hanya hukum yang tegas, tapi juga penuh kasih. Ia menghukum untuk mendidik, bukan untuk mempermalukan.
Dalam semangat itu, qanun ini mencerminkan sistem hukum yang berintegrasi antara adat, Islam, dan kepentingan rakyat. Tidak hanya menegakkan kekuasaan, tetapi juga menjaga martabat manusia. Sistem ini memuliakan musyawarah, menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, serta mencegah ketimpangan melalui keadilan sosial.
Menjadi Pondasi Penerapan Hukum Modern di Aceh
Di era otonomi khusus, Aceh diberi kewenangan untuk menerapkan syariat Islam melalui serangkaian qanun. Sayangnya, banyak qanun modern yang lahir hari ini lebih bersifat sektoral dan reaksioner, tanpa narasi menyeluruh yang menyeimbangkan antara hukum, keadilan, dan konteks zaman.
Di sinilah Qanun Meukuta Alam perlu dijadikan pondasi filosofis—sebagai arah nilai dan etika dalam pembentukan dan penerapan qanun modern. Beberapa nilai kunci yang relevan untuk diterapkan antara lain:
- Hukum berbasis maslahat umum, bukan hanya larangan formal.
- Peran ulama dan tokoh adat dalam menjaga keadilan sosial.
- Restoratif, bukan hanya retributif: fokus pada pemulihan bukan pembalasan.
- Transparansi dalam pemerintahan dan hukum: rakyat tahu, rakyat terlibat.
Dengan nilai-nilai ini, kita bisa membentuk sistem hukum yang Islami, Aceh-nya kuat, tapi tetap adil dan inklusif.
Tantangan Zaman Digital: Hukum, Etika, dan Ketertinggalan
Era digital membawa realitas baru yang tidak pernah dihadapi oleh para penyusun Qanun Meukuta Alam dahulu:
- Konten media sosial yang vulgar dan destruktif.
- Penyebaran hoaks dan fitnah secara masif.
- Transaksi ekonomi digital yang rentan penipuan.
- Kehidupan privat yang kini terbuka di ruang publik digital.
- Krisis etika dan kehilangan rasa malu generasi muda.
Sayangnya, hukum Aceh belum cukup tanggap dan adaptif terhadap situasi ini. Kita sibuk merazia baju dan menertibkan khalwat, tetapi abai terhadap konten Tiktok yang merusak akhlak kolektif. Kita menghukum zina secara simbolik, tetapi membiarkan fitnah digital menghancurkan nama baik orang lain tanpa proses.
Qanun Meukuta Alam, meskipun kuno, punya semangat keadaban yang bisa menjawab zaman: mengutamakan musyawarah, pencegahan, dan pendidikan.
Membangun Qanun Digital yang Berbasis Tradisi
Aceh perlu segera menyusun Qanun Digital Aceh yang bukan hanya menertibkan, tetapi juga mengedukasi. Qanun ini harus lahir dari semangat Meukuta Alam:
- Melindungi generasi muda dari konten destruktif.
- Menjaga kehormatan publik dan martabat sosial.
- Mengatur ekonomi digital agar adil dan transparan.
- Mengembangkan literasi digital berbasis nilai Islam dan adat Aceh.
- Menegaskan peran adat dan ulama sebagai “moderator digital society”.
Penutup: Merawat Warisan, Menjawab Tantangan
Qanun Meukuta Alam bukan untuk ditiru mentah-mentah, melainkan untuk diinspirasi secara bijak. Ia adalah bukti bahwa Aceh pernah punya sistem hukum agung yang berakar pada nilai, bukan sekadar kekuasaan. Kini, di tengah krisis moral, banjir informasi, dan gempuran budaya luar, kita butuh fondasi kuat yang mampu menjawab zaman.
Dengan semangat Qanun Meukuta Alam, Aceh bisa membangun sistem hukum yang tidak hanya Islami dalam simbol, tetapi juga adil, manusiawi, dan relevan dalam praktik. Kita bisa menjawab tantangan zaman digital bukan dengan panik moral, tapi dengan hukum yang cerdas, berakar, dan progresif.
Aceh harus membuktikan bahwa ia bukan hanya Serambi Mekkah karena sejarahnya—tapi karena visi hukumnya yang terus hidup dan berperan bagi masa depan.