Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

refleksi Banjir "Air yang Menyucikan atau Menghanyutkan

Jumat, 11 April 2025 | 23:24 WIB Last Updated 2025-04-11T16:24:12Z


Banjir bukan hanya bencana alam—ia adalah panggilan kehidupan. Ketika air meluap dari sungai, menelan pemukiman, dan merendam tanah-tanah yang semula kering, manusia dihadapkan pada satu kenyataan tak terbantahkan: betapa kecilnya kita di hadapan kuasa alam. Musibah banjir, yang saban tahun menghantam berbagai wilayah di Indonesia, menyisakan bukan hanya kerugian materiil, tapi juga pelajaran moral dan eksistensial yang dalam.

Banjir Sebagai Cermin Peradaban

Banjir, sejatinya, bukan hanya datang dari langit. Ia juga lahir dari ulah manusia yang mengkhianati keseimbangan alam. Hutan digunduli, saluran air disumbat limbah rumah tangga, beton menggantikan tanah serapan. Maka ketika langit menumpahkan hujan, bumi tak lagi mampu menyambutnya dengan hangat—ia memuntahkannya kembali dalam bentuk bencana.

Di titik ini, banjir menjadi cermin peradaban. Ia merefleksikan bagaimana kita memperlakukan alam, dan pada akhirnya, bagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Kita membangun kota tanpa visi ekologis, membangun rumah di bantaran sungai tanpa rasa takut. Ketika air datang, kita menyalahkan hujan, tetapi enggan mengintrospeksi keserakahan kita sendiri.

Air yang Menyucikan atau Menghanyutkan

Dalam banyak tradisi spiritual, air adalah simbol kesucian. Ia digunakan untuk membasuh dosa, menyucikan tubuh, bahkan melahirkan kembali jiwa. Namun ketika air datang sebagai banjir, ia menjadi paradoks: menyucikan dengan menghancurkan. Rumah-rumah hanyut, kenangan hilang, dan hidup terhenti sejenak dalam ketidakpastian.

Di sinilah manusia belajar bahwa segala sesuatu yang kita banggakan bisa lenyap dalam sekejap. Gelar, jabatan, bahkan harta benda, tidak ada artinya ketika air setinggi dada. Kita kembali menjadi manusia yang sama: basah, lelah, dan menggigil—tanpa status sosial, tanpa sekat ekonomi. Banjir meruntuhkan ilusi tentang perbedaan kelas, dan menghadirkan solidaritas dalam bentuk paling murni.

Pelajaran dari Pengungsian

Di pengungsian, orang-orang duduk berdampingan tanpa mengenal siapa kaya siapa miskin. Di sana, kehidupan direset. Mereka makan dari dapur umum, tidur di tikar yang sama, dan berbagi cerita dalam bayang-bayang trauma. Namun justru dari sana, harapan tumbuh. Banjir menghapus batas ego dan membuka ruang bagi empati, gotong royong, dan kemanusiaan yang kerap hilang dalam hiruk pikuk modernitas.

Musibah mengajarkan kita tentang kebersamaan. Di saat negara terlambat datang, masyarakat yang lebih dahulu menolong. Tangan-tangan tetangga lebih cepat terulur dibanding tangan kekuasaan. Ini bukti bahwa kekuatan sejati ada dalam komunitas, bukan birokrasi.

Refleksi Diri di Tengah Genangan

Banjir adalah ajakan untuk merenung. Tentang cara hidup kita, tentang relasi kita dengan lingkungan, dan terutama tentang arah hidup kita sebagai manusia. Apakah kita masih ingin hidup dengan menantang hukum alam? Atau sudah waktunya kita mengalah, menunduk, dan belajar kembali dari kebijaksanaan bumi?

Dalam genangan air, manusia sejatinya sedang bercermin. Ia melihat wajahnya yang lelah, tapi juga menemukan jati dirinya yang asli. Di tengah air yang mengalir, kita disadarkan bahwa semua yang kita kejar di dunia ini sementara. Dan pada akhirnya, yang akan menyelamatkan kita bukanlah harta atau kekuasaan, melainkan solidaritas, kasih sayang, dan keberanian untuk berubah.