Refleksi Generasi Muda dalam Perpolitikan di Aceh: Diam atau Berjuang untuk Rakyat
Oleh: Azhari
Di tanah yang menyimpan sejarah perjuangan paling panjang dalam melawan kolonialisme, Aceh kini menghadapi tantangan yang tak kalah berat: diamnya generasi muda dalam dinamika politik lokal yang semakin pragmatis dan transaksional. Dalam suasana di mana politik tak lagi menjadi wadah idealisme, tetapi ladang kompromi dan elitisme, muncul pertanyaan besar yang seharusnya menggugah batin kita semua: ke mana suara dan sikap generasi muda Aceh?
Apakah mereka memilih diam, menjadi penonton atas panggung politik yang kotor? Ataukah mereka akan bangkit, berjuang untuk kembali memurnikan politik sebagai jalan pengabdian kepada rakyat?
Ketika Politik Tak Lagi Sakral
Dulu, perjuangan politik di Aceh dibangun di atas darah dan air mata. Nama-nama besar seperti Teuku Umar, Cut Nyak Dhien, hingga Hasan Tiro, berdiri atas prinsip, bukan pragmatisme. Tapi kini, banyak anak muda justru menjauh dari politik, seakan muak terhadap kebobrokan yang diwariskan oleh generasi tua yang enggan turun tahta.
Kondisi ini diperparah oleh wajah politik lokal yang lebih mementingkan relasi kekuasaan ketimbang keberpihakan. Partai politik menjadi kendaraan keluarga, organisasi pemuda dikooptasi untuk kepentingan elit, dan demokrasi hanya menjadi nama tanpa ruh.
Generasi Muda: Masih Ada Harapan?
Namun kita tak bisa hanya mengutuk kegelapan. Masih ada secercah cahaya dari generasi muda Aceh yang mulai sadar. Mereka tak hanya bisa mengkritik lewat media sosial, tapi juga mulai membentuk gerakan komunitas, edukasi politik, hingga konsolidasi akar rumput. Tapi jumlah mereka terlalu kecil untuk mengubah sistem. Mereka butuh gelombang.
Masalahnya, sebagian besar generasi muda Aceh masih bersikap pasif. Terjebak dalam zona nyaman, enggan bersuara, bahkan menghindari ruang-ruang pengambilan keputusan dengan dalih politik itu kotor. Padahal, jika orang-orang baik enggan masuk ke politik, maka orang-orang buruk akan terus menguasainya.
Diam: Sebuah Pilihan yang Merugikan
Diam bukanlah sikap netral. Dalam konteks perpolitikan hari ini, diam adalah bentuk persekongkolan tak langsung terhadap ketidakadilan. Ketika generasi muda memilih untuk bungkam, mereka sedang menyerahkan masa depan mereka pada tangan yang salah.
Kita perlu bertanya: siapa yang akan menjaga idealisme rakyat jika bukan generasi muda? Siapa yang akan menentang korupsi berjamaah jika suara mahasiswa hanya sebatas ruang seminar? Siapa yang akan memperjuangkan keadilan sosial jika aktivisme hanya berhenti di media sosial?
Berjuang: Jalan Panjang yang Mulia
Berjuang dalam politik bukan berarti harus menjadi politisi. Berjuang berarti aktif dalam proses demokrasi: mengkritisi, mengedukasi, membangun gerakan, dan tak ragu membongkar kebusukan yang terselubung rapi. Pemuda yang berjuang adalah mereka yang tak hanya mampu menyusun kalimat pedas, tapi juga mau turun ke desa-desa, mendengar suara nelayan, petani, dan guru honorer.
Generasi muda Aceh harus hadir di DPR, di kursi legislatif kabupaten, di tubuh partai, bukan sebagai penggembira, tapi sebagai pengubah arah. Mereka harus mendefinisikan ulang politik, bukan dengan jargon kosong, tapi dengan kerja nyata dan keberpihakan yang tak goyah oleh uang atau jabatan.
Tantangan dan Jalan Terjal
Tentu jalan itu tak mudah. Sistem yang oligarkis, mentalitas senioritas, serta permainan uang menjadi tantangan besar. Tapi sejarah tak pernah diubah oleh mereka yang takut tantangan. Ia diubah oleh generasi muda yang berani mengambil risiko.
Lihat bagaimana pemuda-pemuda di masa konflik Aceh berdiri gagah dengan pena dan senjata. Hari ini, tantangannya bukan lagi peluru, tapi manipulasi dan kooptasi. Pemuda Aceh harus menjadi cerdas secara politik, strategis secara gerakan, dan kuat secara moral.
Menuju Aceh yang Lebih Baik: Dari Kampus ke Parlemen
Kampus adalah tempat penyemaian kesadaran. Tapi jangan biarkan kesadaran itu layu sebelum panen. Mahasiswa Aceh harus menyadari bahwa kehadiran mereka di ruang kuliah bukan hanya untuk mengejar gelar, tapi untuk menyiapkan diri menjadi pelayan rakyat di masa depan.
Tak cukup hanya menjadi LSM atau aktivis musiman. Saatnya pemuda Aceh masuk ke parlemen dengan membawa idealisme, bukan menjadi boneka partai. Saatnya mereka mengisi jabatan publik, bukan untuk memperkaya diri, tapi untuk memperjuangkan kepentingan mereka yang tak bersuara.
Penutup: Sejarah Menanti Keberanian
Kita hidup di masa transisi. Politik Aceh sedang kehilangan arah, rakyat kecewa, dan generasi tua sebagian besar sudah kehilangan semangat pembaruan. Inilah waktu bagi generasi muda untuk mengambil alih tongkat estafet.
Mereka bisa memilih untuk diam, sibuk dengan dunia pribadi dan gawai, hingga akhirnya menyesal saat Aceh semakin terpuruk. Atau mereka bisa memilih untuk berjuang, memikul tanggung jawab sejarah, dan menulis babak baru politik Aceh yang lebih jujur, bersih, dan berpihak kepada rakyat.
Karena sejarah tidak mencatat mereka yang diam, tapi mereka yang berani bersuara.