Tradisi Saweu Gure, yang berarti mengunjungi guru sebagai bentuk penghormatan dan silaturahmi, merupakan bagian tak terpisahkan dari budaya Aceh, khususnya dalam lingkungan pesantren. Namun, sayangnya tradisi mulia ini mulai memudar di kalangan remaja Aceh saat ini.
Beberapa faktor berkontribusi terhadap hal ini. Pertama, pengaruh modernisasi dan digitalisasi telah membuat remaja lebih terhubung dengan dunia maya daripada interaksi langsung. Komunikasi lewat media sosial dianggap cukup, menggantikan kunjungan langsung yang lebih bermakna.
Kedua, krisis keteladanan dan kurangnya pemahaman makna tradisi juga berperan. Generasi muda mungkin tak sepenuhnya memahami nilai spiritual dan moral di balik Saweu Gure. Ketiga, pergeseran nilai dalam pendidikan yang lebih menekankan pencapaian akademik juga turut andil. Nilai-nilai adab dan etika, termasuk penghormatan kepada guru, seringkali terpinggirkan.
Keempat, mobilitas tinggi dan kesibukan hidup membuat remaja sulit meluangkan waktu untuk mengunjungi guru-guru mereka. Terakhir, kurangnya dorongan dari lingkungan sekitar juga memperparah situasi. Keluarga dan masyarakat perlu berperan aktif menanamkan nilai-nilai Saweu Gure sejak dini.
Melestarikan Saweu Gure bukan sekadar menjaga tradisi, tetapi juga merawat nilai-nilai luhur yang penting bagi pembentukan karakter generasi muda Aceh. Upaya bersama dari berbagai pihak sangat diperlukan untuk menghidupkan kembali tradisi ini.