Jika dulu Aceh dikenal dunia lewat pelabuhan, surat diplomatik, dan kitab-kitab ulama yang tersebar hingga Timur Tengah, maka kini era digital menawarkan peluang yang bahkan lebih luas. Internet adalah samudera baru, dan diplomasi budaya adalah kapal layar yang bisa membawa Aceh kembali diperhitungkan dunia—bukan dengan kekuatan senjata, tapi dengan kekuatan narasi dan identitas.
Namun pertanyaannya, sudahkah Aceh mengarungi samudera itu dengan serius?
1. Budaya Sebagai Alat Diplomasi: Bukan Hanya Tari dan Kuliner
Diplomasi budaya bukan sekadar mengirim penari Saman ke luar negeri atau membuka stand kuliner di festival diaspora. Itu perlu, tapi belum cukup. Diplomasi budaya sejatinya adalah upaya sistematis untuk memperkenalkan nilai, sejarah, dan karakter sebuah bangsa kepada dunia, agar lahir pengakuan, simpati, bahkan kerjasama.
Aceh punya modal besar: warisan kesultanan, sastra klasik, manuskrip kuno, filsafat Islam, hingga perjuangan antikolonial. Tapi semua itu belum disusun menjadi narasi strategis. Seringkali warisan itu hanya jadi koleksi foto Instagram, bukan bahan diplomasi intelektual. Padahal dunia akademik internasional haus akan narasi baru dari dunia Islam yang progresif dan berakar kuat.
2. Digitalisasi Warisan Budaya dan Naskah Keilmuan
Langkah pertama adalah digitalisasi. Aceh memiliki ribuan manuskrip kuno di dayah dan koleksi pribadi yang belum terdokumentasi dengan baik. Bayangkan jika naskah-naskah itu bisa diakses dalam bentuk e-book, diterjemahkan, lalu diperkenalkan ke universitas-universitas Islam internasional.
Dengan membangun Perpustakaan Digital Aceh Raya, kita tidak hanya merawat pusaka, tapi juga mengirim pesan pada dunia bahwa Aceh tidak miskin gagasan. Kita adalah bangsa yang berpikir jauh sebelum zaman modern datang.
3. Media Sosial sebagai Ruang Diplomasi, Bukan Kontroversi
Saat ini, banyak wajah Aceh yang muncul di media sosial dunia justru karena isu kontroversial: razia syariat, perceraian, kasus kekerasan, atau konten viral dari seleb lokal yang merusak citra moral. Di sisi lain, potensi konten positif nyaris tidak dimanfaatkan dengan baik.
Aceh perlu memproduksi konten budaya digital: dokumenter sejarah, podcast ulama, video animasi hikayat, pameran virtual seni Islami, hingga vlog edukatif tentang kehidupan di dayah. Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram seharusnya menjadi ladang dakwah kebudayaan, bukan hanya arena lucu-lucuan.
Di sinilah peran pemerintah, pemuda, dan pelaku kreatif harus disatukan dalam satu ekosistem digital budaya yang kuat.
4. Membangun “Brand Aceh” di Mata Dunia
Setiap bangsa besar memiliki “citra” (brand image) di dunia internasional. Jepang dikenal lewat etika kerja dan teknologi. Turki lewat harmoni tradisi dan modernitas. Korea Selatan lewat budaya pop dan teknologi. Aceh bisa membentuk brand-nya sendiri: negeri warisan Islam, adat mulia, dan semangat perjuangan.
Untuk itu, kita perlu strategi komunikasi yang terstruktur. Pemerintah Aceh bisa membuat situs resmi diplomasi budaya, program pertukaran pelajar dan seniman, serta bekerja sama dengan kementerian luar negeri RI dan kedutaan besar untuk mengadakan “Tahun Budaya Aceh” di beberapa negara sahabat.
5. Diplomasi Akademik: Mengirim Pikiran, Bukan Sekadar Produk
Paling penting, Aceh harus kembali ke tradisi intelektual. Kirim anak-anak muda terbaik ke kampus luar negeri dengan beasiswa kebudayaan, bukan hanya untuk belajar, tapi juga untuk menjadi duta. Biarkan mereka berbicara tentang Islam yang ramah, Aceh yang terhormat, dan warisan leluhur yang hidup di masa depan.
Aceh harus punya misi kebudayaan yang aktif. Bukan pasif menunggu perhatian, tapi aktif menawarkan gagasan.
Penutup: Membuka Jendela, Menyalakan Cahaya
Diplomasi budaya adalah jendela. Dan jendela itu tidak akan pernah terbuka jika dari dalam rumah kita sendiri masih gelap, berdebu, dan penuh perselisihan.
Era digital memberi kita peluang emas untuk membalikkan keadaan. Jika dulu Aceh dikenang karena kekuatan dan kejayaan, maka kini Aceh bisa dikenang kembali karena visi, ide, dan budayanya yang hidup. Tapi semua itu hanya bisa terjadi jika kita menyatukan langkah—antara pemerintah, ulama, budayawan, dan generasi muda.
Sudah saatnya Aceh bukan hanya dikenal karena konflik atau kontroversi. Tapi karena cahaya budayanya yang bersinar di layar dunia.