Oleh: azhari
Aceh, tanah yang pernah jadi mercusuar perlawanan, tempat lahirnya pemimpin tangguh, ulama karismatik, dan pejuang gigih, kini berada dalam persimpangan arah. Seiring waktu dan perubahan zaman, denyut kepemimpinan yang membawa perubahan terasa melemah. Banyak yang bertanya: ke mana arah Aceh hari ini? Siapa yang akan berdiri, bukan sekadar bicara, tetapi bertindak sebagai penunjuk jalan?
Kita hidup di masa ketika Aceh memiliki segala potensi, tapi miskin arah. SDA melimpah, budaya kaya, otonomi khusus telah diberikan, bahkan kekhususan syariat Islam menjadi payung identitas. Tapi kenyataannya, kemiskinan tetap tinggi, pengangguran tak kunjung turun, dan generasi muda banyak yang kehilangan motivasi.
Saat Arah Hilang, Tokoh Perubahan Harus Lahir
Lahirnya tokoh perubahan bukan sekadar soal popularitas atau kekuasaan. Ia adalah soal kesadaran sejarah dan keberanian menantang arus. Tokoh perubahan bukan lahir dari elite lama yang sibuk menjaga jabatan, tapi dari mereka yang resah melihat kondisi umat, yang muak dengan ketidakadilan, dan yang memilih bertindak saat yang lain diam.
Tokoh perubahan Aceh masa depan harus:
- Berpijak pada nilai Islam, bukan sekadar simbol syariat, tapi nilai keadilan dan kejujuran.
- Dekat dengan rakyat, bukan hanya saat kampanye, tapi benar-benar mendengar jeritan desa dan meunasah.
- Berpikir visioner, memanfaatkan teknologi, membangun SDM, bukan hanya mengelola dana dan proyek.
- Berani melawan pembodohan dan pemiskinan, dua musuh utama yang merusak Aceh dari dalam.
Di Mana Mereka Sekarang?
Tokoh perubahan bisa jadi sedang duduk di ruang kelas dayah, sedang berdiskusi di warung kopi, atau bahkan sedang diam menyusun strategi di balik layar. Mereka belum tentu berasal dari keluarga berpengaruh, tapi mereka punya semangat yang lahir dari luka sosial dan kegelisahan moral.
Aceh tak kekurangan pemuda cerdas, hanya kekurangan ruang dan kepercayaan. Dan ketika arah mulai hilang, tugas kitalah menyalakan lentera harapan—bukan sekadar menunggu, tapi menciptakan iklim yang melahirkan tokoh-tokoh perubahan.
Penutup: Arah Bisa Dicari, Tapi Pemimpin Harus Dilahirkan
Aceh hari ini tidak butuh lagi basa-basi kekuasaan. Aceh butuh gerakan moral, spiritual, dan intelektual yang melahirkan pemimpin sejati—bukan penguasa, tapi pelayan rakyat.
Di tengah arus globalisasi, apatisme, dan komersialisasi politik, semoga akan lahir tokoh perubahan dari tanah ini. Bukan karena ingin jabatan, tapi karena tak tahan melihat Aceh kehilangan jati dirinya.
Jika arah hilang, maka harapan harus diciptakan. Dan harapan itu bernama pemimpin baru.