Oleh: Azhari
Di tengah gempuran teknologi dan budaya global yang melaju tanpa rem, Aceh sebagai salah satu wilayah dengan warisan budaya yang kuat kini berada di persimpangan jalan. Tradisi-tradisi luhur yang dahulu menjadi identitas masyarakat Aceh perlahan mulai terkikis, tergantikan oleh budaya luar yang lebih populer di layar ponsel ketimbang di halaman meunasah.
Budaya bukan hanya warisan nenek moyang, tapi penyangga karakter suatu bangsa. Di Aceh, budaya melekat erat dengan nilai-nilai Islam, adat, dan kearifan lokal. Namun kini, generasi muda lebih mengenal tren TikTok daripada syair-syair hikayat, lebih hafal lagu K-pop daripada doa Peusijuek.
Tradisi yang Terancam Hilang
-
Peusijuek (Tepung Tawar):
Tradisi adat Aceh ini menjadi simbol berkah, doa, dan restu dalam berbagai momen penting seperti pernikahan, naik haji, pindah rumah, hingga kelahiran. Kini, banyak acara keluarga yang meninggalkan tradisi ini demi acara yang “lebih modern”. -
Didong dan Hikayat:
Seni tutur dan nyanyian syair ini dulunya hidup di surau dan balai-balai desa, menjadi sarana pendidikan dan hiburan rakyat. Kini, mereka bersaing ketat dengan video singkat 30 detik yang mengutamakan hiburan instan. -
Tari-tarian adat seperti Saman dan Seudati:
Meski masih tampil di acara resmi, pelestariannya di kalangan remaja mulai minim. Mereka lebih antusias membuat konten dance global daripada berlatih tarian yang membutuhkan disiplin dan makna spiritual. -
Bahasa Aceh dalam komunikasi harian:
Banyak keluarga muda di kota memilih menggunakan Bahasa Indonesia atau bahasa gaul digital, menyebabkan generasi muda mulai kesulitan memahami bahasa ibu mereka sendiri.
Apa Penyebabnya?
-
Ketidaksadaran akan nilai budaya lokal.
Generasi muda tidak diajak mengenal akar budayanya dengan bangga. -
Absennya pendidikan budaya di sekolah dan keluarga.
Kurikulum terlalu fokus pada aspek akademik dan digital, melupakan pembentukan identitas budaya. -
Romantisasi budaya asing dan pengaruh media sosial.
Budaya luar dikemas menarik, penuh warna dan pengaruh selebritas, membuat budaya lokal terasa “jadul” dan tidak keren.
Refleksi: Budaya Digital Bukan Musuh, Tapi Harus Dikendalikan
Kita tidak bisa menolak perkembangan zaman, tapi kita bisa memutuskan apa yang akan kita bawa bersama zaman itu. Budaya digital harus menjadi alat untuk memperkenalkan kekayaan tradisi Aceh, bukan menggantikan atau menghapusnya. Misalnya:
- Konten budaya Aceh di media sosial bisa menjadi jembatan edukasi.
- Kampanye digital pelestarian adat bisa melibatkan influencer lokal.
- Festival budaya online, lomba baca hikayat atau konten kreatif bertema tradisi.
Penutup: Jika Kita Tak Merawat, Kita Akan Kehilangan
Jika anak-anak Aceh hari ini tak lagi mengenal Peusijuek, tak tahu makna Didong, dan tak mengerti bahasa ibunya sendiri, maka beberapa generasi ke depan Aceh mungkin hanya akan hidup sebagai nama di peta—bukan sebagai peradaban yang hidup.
Budaya yang tidak dirawat bukan sekadar hilang. Ia akan tergantikan, dan yang menggantikan belum tentu sejalan dengan nilai-nilai luhur kita.
Era digital adalah tantangan, tapi juga peluang. Yang dibutuhkan adalah kesadaran kolektif: dari keluarga, sekolah, pemerintah, dan media lokal untuk menjadikan budaya Aceh bukan sekadar kenangan, tapi masa depan.